“Selagi tidak merusak lingkungan lagi madhorot nya itu bisa ditahan, ya boleh. Tapi kalau sudah merusak lingkungan, madhorotnya lebih besar dari manfaatnya, ya itu tidak boleh,” ujarnya.
Namun, ia menambahkan, jika permasalahan ekspor pasir dan tanah olor dikaji secara ilmiah, maka hal itu jelas berdampak buruk terhadap lingkungan.
“Secara ilmiah, (ekspor pasir dan tanah olor) ya tidak boleh. Kan regulasi sudah jelas merusak lingkungan tidak boleh. Tapi setahu saya di PP 26 itu boleh diekspor selagi kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi. Nah kalau kebutuhan dalam negeri ini masih diperlukan, ya harus mendahulukan dalam negeri. Tapi itu kan celah. Celah membuat pernyataan bahwa dalam negeri sudah mencukupi, karena bisa saja pimpinan daerah menyatakan bahwa kebutuhan dalam negeri sendiri sudah oke jadi dijual. Memang syarat jual beli boleh-boleh saja. Lalu mengapa PP 26 itu dilarang? Yang dikhawatirkan itu peruntukannya itu dijual ke negara lain. Negara lain mengembangkan pulaunya, wilayah daratannya, sementara kita berkurang,” katanya menambahkan.(Lin/Mg06)