Aulanews.id, Surabaya – LBH Surabaya mengecam keras aksi pembotakan rambut terhadap 19 orang siswi kelas IX SMPN 1 Sukodadi Lamongan, Jawa Timur, yang dilakukan oleh oknum guru EN karena aksinya yang menggunduli rambut belasan siswi sebab tak memakai jilbab atau ciput. Mereka mendesak sang guru dipolisikan.
Perbuatan EN yang melakukan pencukuran rambut paksa terhadap para siswi berjilbab tersebut merupakan kekerasan fisik karena terjadi kontak fisik antara EN dengan para siswi korban pencukuran rambut dengan alat bantu mesin cukur.
Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye LBH Surabaya, Habibus Shalihin mengatakan tindakan EN yang secara paksa melakukan aksi penggundulan rambut bagian depan siswi-siswinya termasuk ke dalam bentuk kekerasan kepada anak.
“Terjadinya kasus ini justru mencoreng martabat kemanusiaan anak. Bukan tidak mungkin kemudian EN yang melakukan kekerasan tersebut telah melanggar Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” kata Habibus melalui keterangannya, Rabu (30/8).
Dalam kasus ini, kata Habibus, menurut Pasal 59 UU 35 Tahun 2014, negara berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak korban kekerasan fisik dan psikis. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah menegakkan sanksi.
“Maka sanksi yang dapat dikenakan kepada guru tersebut mengacu pada Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014 dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta,” ujarnya.
Habibus menyebut tindakan penggundulan yang dilakukan oleh EN terhadap peserta didiknya itu juga dikategorikan sebagai kekerasan fisik dan psikis menurut Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Tak hanya itu, apa yang dilakukan EN juga tak sesuai prinsip Unicef tentang ‘The Right to Survival and Development’ atau hak untuk hidup dan berkembang bagi anak.
Dalam konsep itu, setiap anak berhak atas pendidikan, termasuk hak terhindar dari tindak kekerasan fisik maupun psikis ketika berada di dalam lingkungan satuan pendidikan, baik yang dilakukan pendidik, murid lain, atau semua pihak.
“Padahal, seharusnya lingkungan sekolah menjadi ruang aman bagi anak untuk mendapatkan hak atas pendidikan,” katanya.