Aulanews.id, JAKARTA – Wacana bahwa presiden 2 periode bisa menjadi calon wakil presiden (cawapres) semakin ramai hingga menuai kontroversi. Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memberikan pernyataan resmi atas isu tersebut.
Menurut MK, pernyataan itu awalnya berasal dari pernyataan pribadi Jubir MK Fajar Laksono, bukan sikap resmi lembaga/putusan MK. “Pernyataan mengenai isu dimaksud bukan merupakan pernyataan resmi dan tidak berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi RI,” demikian siaran pers Humas MK kepada wartawan.
Pernyataan tersebut merupakan respons jawaban yang disampaikan dalam diskusi informal pada saat menjawab wartawan yang bertanya melalui chat WA, bukan dalam forum resmi, doorstop, apalagi dalam ruang atau pertemuan khusus yang sengaja dimaksudkan untuk itu. “Di samping menjabat sebagai Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri, serta menjalankan fungsi kejurubicaraan, Fajar Laksono merupakan pengajar/akademisi.
Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan selama ini membuka ruang bagi wartawan yang ingin, baik bertemu secara langsung di ruang kerja, melalui chat WA, atau sambungan telepon, guna mendiskusikan isu-isu publik aktual, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik. Umumnya, wartawan ingin mendapatkan tambahan informasi, pemahaman, atau perspektif berbeda guna memperkaya sudut pandang, tidak untuk keperluan pemberitaan,” ujarnya.
Sehubungan dengan itu, pada saat menjawab chat WA dimaksud, tidak terlalu diperhatikan bahwa jawaban tersebut dimaksudkan untuk tujuan pemberitaan. “Sehingga jawaban disampaikan secara spontan, singkat, informal, dan bersifat normatif,” bebernya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa presiden 2 periode tidak bisa nyalon wakil presiden (nyawapres). Hal itu menanggapi tafsir yang beragam di berbagai media soal hal itu. “Pasal 7 UUD tidak boleh hanya dibaca harfiah tapi harus dibaca dengan sistematis & kontekstual,” kata Jimly kepada wartawan.
Pasal 7 UUD 1945 berbunyi:
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pasal 8 (1) berbunyi:
Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wapres sampai habis masa jabatannya.
“Jika Jokowi jadi Wapres 2024, maka Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 tidak akan dapat dilaksanakan karena akan bertentangan dengan Pasal 7. Makanya tidak ada tafsir lain yang mungkin, kecuali bahwa Jokowi tidak memenuhi syarat untuk menjadi cawapres dalam pilpres 2024 nanti,” ucap Jimly.