Tujuan dari majelis dzikir itu sendiri adalah untuk mengingatkan masyarakat bahwa tujuan utama dari kehidupan adalah kematian, mengajak para jamaah untuk mempersiapakan kebahagiaan akhirat melalui dzikir.
Teguh pada cara dakwahnya
Cara dakwah Gus Miek kerap mendapatkan kritik karena tidak memiliki kesamaan dengan kyai NU lainnya, bahkan juga dianggap bertentangan dengan syariat islam. Meskipun demikian, Gus Miek memilih diam dan tetap berpegang teguh dengan caranya melaksanakan syiar agama.
Sebelum meninggal, pada 5 Juni 1993, Gus Miek sempat menikah dan memiliki lima orang anak. Sosok penyendiri ini sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR), tetapi ia tidak lulus.
Riwayat pendidikan
Gus Miek tidak lulus dari SR, tetapi ia fokus memperdalam ilmu agama, khususnya dalam membaca Al-Qur’an. Ia mendapatkan bimbingan langsung dari ibunya. Ini membuktikan bahwa Gus Miek tidak tertarik dengan lembaga pendidikan formal, sejak kecil ia sudah menaruh perhatian pada agama Islam dan mengetahui apa yang diinginkannya.
Gus Miek memperdalam agama sampai belajar kibat. Ia mendapatkan bimbingan langsung dari ayahnya, KH. Ahmad Djazuli Usman. Selanjutnya, pada umur 13 tahun, Gus Miek melanjutkan pendalaman agama Islamnya dengan masuk ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Akan tetapi, lagi-lagi, ia tidak tertarik dengan pendidikan formal termasuk sistem yang ada di Pondok Pesantren Lirboyo. Ia bertahan hanya 16 hari saja. Ia lalu pulang dan menjalani petualangannya sendiri.
Gus Miek bahkan mampu menguasai beberapa kitab, antara lain:
– Kitab Shahih Bukhari (kitab hadis)
– Kitab shahih muslim (kitab hadis)
– Tafsir Jalalain (kitab tafsir Al-Qur’an)
Ia melanjutkan pendidikan di pondok pesantren milik K.H Dalhar di Watucongol, Magelang, Jawa Tengah. Di sanalah ia belajar dari guru-guru yang dapat dipercayainya sampai mampu mendirikan Majelis Dzikir.