Aulanews.id – Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati. Slogan NKRI harga mati tentu kerap didengungkan para ulama. Salah satu ulama yang tak kenal lelah menggelorakan NKRI harga mati adalah Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar. Saat mengisi pengajian pada Pelantikan Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Rejoso, Kabupaten Nganjuk di Desa Sidokare, Sabtu (13/08/2022) petang, Kiai Marzuki menyatakan apabila mungkin terdapat sebagian kecil pengurus NU terindikasi bersikap anti NKRI, Kiai Marzuki menyarankan agar dipecat dari jabatannya.
“Seandainya ada Ustad atau bahkan Kiai, akidahnya mungkin sama, asy’ariah maturidiyah. Fikihnya syafi’i, tradisinya tahlilan, manaqiban, dibaan, tapi kalau ternyata wawasan berbangsa dan bernegaranya, dia menolak pancasila, NKRI, menolak hormat merah putih lalu diikuti dengan sikap nyinyir terhadap pemerintah, itu bukan orang NU,”
Pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrosyad, Gasek, Malang tersebut melanjutkan, jika di level manapun dalam kepengurusan NU dan banom-banomnya, baik Ranting, Kecamatan, Cabang atau Wilayah terdapat pengurus yang terindikasi demikian, Kiai Marzuki meminta segera di tabayyun untuk diproses dan disidang kemudian dipecat jika terbukti.
“Biasanya indikasinya dia ngaku kalau akidahnya NU tapi anti terhadap Gus Dur, anti terhdap PBNU. Dia juga pernah bicara kalau dirinya ikut NU-nya Mbah Hasyim Asy’ari bukan NU-nya Gus Yahya dan lain sebagainya,” sambungnya.
Alasan NU bersikap pro NKRI, lanjut Kiai Marzuki, sebab Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sepakat memadukan keislaman dan kebangsaan. Hal itu terbukti dengan dikeluarkannya fatwa jihad melawan penjajah yang dikeluarkan satu bulan usai dibacakannya teks proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada saat itu tokoh Islam (ulama) sudah menyepakati dihilangkannya tujuh kata “Ketuhanan dan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” dalam Piagam Jakarta. Kiai Marzuki berkesimpulan, bagi NU menjaga Islam dan negara hukumnya wajib, sedangkan anti agama dan negara hukumnya haram.
“Sehingga dari cara pandang Rais Akbar NU (KH Hasyim Asy’ari) itulah menandakan bahwa Indonesia bukan negara Islam, tetapi negara nasional demokrasi yang menempatkan semua pemeluk agama sama di mata negara,” pungkasnya.(vin)