Skema itu diawali dengan penetapan jamaah berhak lunas. Setelah terbit, jamaah melakukan pelunasan lebih dahulu, baru melakukan pemeriksaan kesehatan. “Dengan skema ini, rata-rata jamaah yang sudah melunasi, berangkat haji,” ujar Imran.
Berdasarkan dua skema tersebut, dijelaskan Imran, Pusat Kesehatan Haji mengusulkan alternatif skema ketiga. Skema itu merujuk pada Permenkes Nomor 15 Tahun 2016 dengan sedikit penambahan. Dalam skema ketiga, jamaah melakukan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu. Pemeriksaan itu mencakup penilaian kesehatan mental dan kemampuan kognitif. Khusus untuk jamaah lansia, perlu ditambahkan penilaian kemampuan melakukan activity daily living (ADL) secara mandiri.
Hal itu, menurut Imran, sejalan dengan amanat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah huruf b yang mengatur pentingnya mewujudkan kemandirian dan ketahanan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. “Jadi perlu ada penilaian untuk mengukur bagaimana kemampuan lansia melakukan aktivitas secara mandiri,” ujar Imran.
Selain hasil pemeriksaan kesehatan, penetapan istithaah juga akan mempertimbangkan data riwayat kesehatan jamaah yang bersumber dari rekam medis jamaah. Untuk memudahkan proses identifikasi rekam medis jamaah, Imran menyampaikan, pihaknya juga akan mengoptimalkan penggunaan Aplikasi Satu Sehat.
Data penyelenggaraan haji pada tahun 2023, sebanyak 43,78% jemaah berusia lebih dari 60 tahun. Sedangkan jemaah haji Indonesia yang meninggal pada tahun ini mencapai 774 orang atau 3,38% dengan mayoritas berumur lansia.
Selain itu, secara epidemiologi, jemaah haji lansia mempunyai risiko 7,1 kali lebih besar meninggal dibandingkan jemaah haji bukan lansia. Penyakit penyebab kematian terbanyak adalah sepsis (infeksi yang menimbulkan kegagalan organ), syok kardiogenik (ketidakmampuan jantung memompa darah), serta penyakit jantung koroner. (Mg 05)