KH. Imam Haromain Asy’ari dikenal sebagai seorang ulama bersahaja, yang tidak hanya mengasuh pondok pesantren tetapi juga aktif di dunia birokrasi. Beliau pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Sidoarjo, Kepala Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur, hingga Kepala Kantor Kemenag Jawa Tengah.
Sosoknya, Kiai yang sederhana, ramah, dan penuh kasih sayang membuat para santri memanggilnya dengan sebutan “Bapak”, mencerminkan kedekatan emosional yang mendalam antara beliau dan para santri.
Semasa hidup, beliau selalu istiqomah dalam menjalankan amalan-amalan ibadah, termasuk membaca surat Al-Waqi’ah setelah salat Subuh. Nada bacaan beliau ketika menjadi imam shalat memiliki kekhasan tersendiri yang hingga kini masih melekat dalam ingatan banyak orang terutama para santri. Istiqomah dan keteladanan beliau menjadi inspirasi bagi para santri yang pernah merasakan didikannya.
Ada satu pengalaman pribadi yang begitu membekas dalam ingatan saya saat menjadi santri di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Asrama Sunan Ampel, tepatnya ketika saya kelas 1 MA Mu’allimin. Saat itu, saya merasa diri saya tertinggal jauh dalam kemampuan membaca kitab kuning. Padahal, itulah motivasi utama dari orang tua dan guru-guru saya untuk memasukkan saya ke MA Mu’allimin Denanyar—supaya saya bisa mahir membaca kitab kuning.
Namun, kenyataannya di asrama tempat saya tinggal, hanya saya dan seorang teman sekelas yang berasal dari MA Mu’allimin. Sebaliknya, banyak santri dari asrama lain di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang yang sudah terlihat mahir membaca kitab kuning. Saya merasa minder dan ragu akan kemampuan saya sendiri. Tekanan itu membuat saya berpikir bahwa saya membutuhkan lingkungan yang lebih mendukung untuk belajar.
Akhirnya, setelah berdiskusi panjang dengan orang tua, saya memutuskan untuk meminta izin kepada KH. Imam Haromain Asy’ari, pengasuh pondok, agar saya bisa boyong dan pindah ke asrama lain. Dengan sedikit ragu, saya sowan kepada beliau, menyampaikan niat dan alasan saya.
Ketika saya selesai berbicara, saya dikejutkan oleh reaksi beliau. Beliau tidak marah atau kecewa, melainkan meneteskan air mata. Dengan suara lembut namun penuh emosi, beliau dawuh, “Mas Fuad, saya minta maaf. Mungkin karena kesibukan saya, beberapa santri merasa tidak mendapatkan perhatian penuh, terutama dalam pembelajaran kitab. Tapi, sesibuk apapun saya, setiap Sabtu dan Ahad saya berusaha datang ke pondok untuk menyimak hafalan para santri kelas akhir mulai dari surat Yasin, Waqi’ah, Al-Kahfi, dan lainnya. Kalau Mas Fuad masih ingin mengembangkan kemampuan membaca kitab kuning, nanti saya minta salah satu pembina asrama untuk mendampingi Mas Fuad dan teman-teman yang sedang belajar di Mu’allimin.”