Aulanews Opini Kenapa Orang Yang Mengerti Sedikit Biasanya Akan Merasa Paling Mengerti? “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”
Oleh : Mochammad Fuad Nadjib

Kenapa Orang Yang Mengerti Sedikit Biasanya Akan Merasa Paling Mengerti? “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”
Oleh : Mochammad Fuad Nadjib

Aulanews.id – Ada pepatah yang bilang  “Tong Kosong Nyaring Bunyinya” adalah ungkapan bahwa orang yang memiliki sedikit pengetahuan cenderung bersikap seolah-olah mereka memiliki pengetahuan yang luas. Ini sama dengan penyataan Socrates “As for me, all i know is that i know nothing” dan sering terjadi ketika seseorang dengan percaya diri mengemukakan pendapat atau informasi yang seolah-olah mereka tahu segalanya. Namun, ketika informasi tersebut diteliti lebih lanjut, ternyata tidak ada dasar atau kebenaran yang kuat di dalamnya.

Ketika kita sedang berkumpul dengan teman-teman dan salah satu dari mereka secara berlebihan yakin dengan apa yang dia katakan, tetapi setelah dicari tahu melalui sumber lain, ternyata informasi yang disampaikan tidak benar. Yang menarik, orang tersebut mungkin tidak sadar bahwa apa yang dia katakan tidak berdasar, dan orang lain juga mungkin tidak menyadari kebenaran informasi tersebut karena kepercayaan diri orang tersebut dalam menyampaikannya.

Advertisement

Ad

Advertisement

Meskipun seseorang terdengar sangat yakin dan berpengetahuan, kita harus tetap waspada dan memverifikasi informasi tersebut sebelum menerima sepenuhnya, karena terkadang “tong kosong” (ketiadaan isi atau pengetahuan yang kuat) bisa menghasilkan “bunyi yang nyaring” (kesan yang kuat atau percaya diri dalam penyampaian). We think that we know everything. actually, we know nothing.

Kisah McArthur Wheeler pada tahun 1995 menjadi perbincangan yang menarik karena kebingungannya ketika ditangkap polisi setelah merampok dua bank di Pittsburgh. Wheeler terkejut bahwa polisi bisa mengidentifikasi wajahnya dari rekaman kamera pengawas. Saat merampok, Wheeler tidak menggunakan topeng, melainkan melumuri wajahnya dengan perasan lemon. Dia meyakini bahwa cairan lemon memiliki sifat yang dapat membuat wajahnya tidak terlihat dalam rekaman kamera, Karena dia tahu, perasan lemon bisa digunakan sebagai tinta yang tidak terlihat untuk menulis di sebuah kertas. Baginya, tindakannya ini sangat masuk akal dan dianggap sebagai cara untuk tidak terdeteksi oleh polisi.

Kasus ini menarik minat David Dunning dan Justin Kruger untuk melakukan penelitian yang kemudian dikenal sebagai efek Dunning-Kruger. Mereka meneliti fenomena di mana orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang terbatas cenderung tidak menyadari kekurangan mereka dan justru merasa lebih kompeten daripada yang sebenarnya. Ini menyoroti bahwa kesadaran akan kekurangan diri sendiri tidak selalu terkait dengan tingkat pengetahuan atau kemampuan seseorang. Orang-orang seperti Wheeler mungkin tidak menyadari bahwa mereka kurang berpengetahuan atau tidak memiliki keterampilan yang diperlukan, sehingga mereka merasa yakin dalam tindakan mereka meskipun sebenarnya tidak masuk akal.

Pada tahun 1999, Dunning dan Kruger melakukan penelitian yang dikenal dengan judul “Unskilled and Unaware of It”, di mana mereka menguji sekelompok orang dalam bidang tata Bahasa, rumor, dan logika. Dalam percobaan pertama, 65 peserta diminta untuk menilai lelucon yang mereka anggap lucu. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka yang merasa ahli dalam menilai humor sebenarnya mendapat nilai terburuk dalam ujian tersebut. Dalam tes bahasa dan logika yang dilakukan pada peserta yang sama, hasilnya tetap konsisten. Orang-orang yang merasa paling percaya diri dalam kemampuan mereka seringkali mendapat nilai terendah, sementara mereka yang sebenarnya lebih kompeten cenderung meremehkan kemampuan mereka sendiri. Inilah yang kemudian dikenal sebagai “Dunning-Kruger Effect” dan dalam pepatah kita “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”, di mana orang-orang yang tidak kompeten dalam suatu bidang cenderung tidak menyadari ketidakmampuan mereka dan justru merasa lebih percaya diri daripada yang sebenarnya.

Dunning-Kruger Effect adalah fenomena psikologis di mana individu yang memiliki pengetahuan atau keterampilan yang terbatas mengalami kesan bahwa mereka memiliki kemampuan yang lebih tinggi daripada orang lain secara keseluruhan. Ini berarti mereka merasa diri mereka lebih unggul dibandingkan dengan rata-rata orang. Orang yang memiliki pemahaman yang terbatas tentang suatu topik cenderung menganggap diri mereka lebih tahu daripada yang sebenarnya, sementara mereka kurang menyadari seberapa banyak yang mereka tidak ketahui. Hasilnya, orang yang paling percaya diri dalam kemampuan mereka seringkali bukan yang sebenarnya berpengetahuan luas. Dalam teori yang dijelaskan oleh Dunning dan Kruger, grafik menunjukkan bahwa ketika seseorang memiliki pengetahuan yang terbatas, kepercayaan diri mereka cenderung tinggi. Namun, ketika pengetahuan mereka bertambah, kepercayaan diri mereka dapat menurun karena mereka mulai menyadari kompleksitas dan kedalaman subjek tersebut. Namun, seiring dengan peningkatan pengetahuan lebih lanjut, kepercayaan diri mereka bisa kembali meningkat. Secara umum, orang sering kali memiliki kesulitan dalam menilai kecerdasan mereka sendiri dalam bidang seperti penalaran logis, pengetahuan keuangan, matematika, kecerdasan emosional, dan bahkan catur, dan cenderung menganggap diri mereka lebih mahir daripada yang sebenarnya.

Ada istilah yang dikenal sebagai “Lingkaran Pengetahuan” yang menggambarkan bahwa semakin kita belajar, semakin kita menyadari betapa sedikitnya yang kita ketahui. Saat awal belajar, kita mungkin berpikir, “Ada beberapa hal yang tidak saya ketahui, tetapi saya memahami dasarnya.” Namun, seiring dengan peningkatan pengetahuan, lingkaran pengetahuan kita melebar, dan garis batas dari apa yang tidak kita ketahui juga semakin membesar. Ketika kita menjadi ahli dalam bidang tertentu, kita menyadari bahwa ada ratusan hal yang masih belum kita ketahui, banyak ketidakpastian, inkonsistensi, dan kesalahan yang mungkin kita lakukan. Ini menghasilkan apa yang disebut “efek paradoks,” di mana semakin kita tahu tentang suatu subjek, semakin sulit bagi kita untuk berbicara tentangnya, karena kita menyadari betapa banyaknya yang masih belum kita ketahui. Seperti pendapat Umar bin Khattab RA. tentang tahapan dalam menuntut ilmu “Menuntut ilmu ada tiga tahapan. Jika seorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika seseorang memasuki tahapan kedua, ia akan tawadu. Dan jika seseorang memasuki tahapan ketiga, ia akan merasa dirinya tidak tahu apa-apa.”

Baca Juga:  Nurul Arifin Ciri Pengganti Zainudin Amali

Saat kita belajar tentang suatu subjek, sering kali kita cenderung menganggap bahwa kita telah memahami dan mengetahui segalanya tentangnya. Namun, pada kenyataannya, kita mungkin belum cukup terampil atau berpengetahuan untuk menyadari bahwa masih banyak hal yang harus dipelajari. Kita mungkin belum dapat menilai pengetahuan dan kemampuan kita secara akurat, dan mungkin belum dapat menggali secara mendalam tentang subjek tersebut. Inilah yang menyebabkan kita merasa kita tahu lebih banyak daripada yang sebenarnya. Misalnya, jika kita hanya mengandalkan informasi dari media sosial tentang topik seperti Perang Dunia, kita mungkin merasa cukup menguasainya. Namun, tanpa melakukan pembelajaran yang lebih mendalam atau melakukan penelitian, dan tentunya tanpa pengalaman langsung dalam peristiwa tersebut, kita mungkin terlalu percaya diri dan lebih mengetahui tentang Perang Dunia. Hal ini memunculkan apa yang dikenal sebagai efek Dunning-Kruger, di mana kita cenderung merasa lebih kompeten daripada yang sebenarnya, karena kurangnya kesadaran akan batasan pengetahuan dan keterampilan kita.

Dengan informasi dari media social tentang perang dunia, bukan berarti kita telah memahami secara mendalam tentang subjek tersebut. Pengalaman tersebut hanya seperti melihat puncak dari gunung es, tanpa memahami seberapa besar es yang tersembunyi di dalam air. Hal ini dapat membuat kita hidup dalam ilusi bahwa kita sudah menguasai dan mengetahui segalanya. Pola ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik dari teman yang sok tahu, siswa yang merasa pintar namun mendapat nilai rendah, hingga karyawan yang merasa tidak puas karena orang lain mendapat promosi. Laporan kinerja memberikan pandangan objektif tentang kinerja seseorang tanpa prasangka. Namun, bagi mereka yang kurang memahami pekerjaannya, mereka mungkin tidak akan puas dengan hal itu. Mereka merasa lebih baik dari yang tercantum dalam laporan. Ini seringkali menghasilkan alasan-alasan seperti menyalahkan bos atau meremehkan rekan kerja yang mendapat promosi. Mereka jarang berhenti sejenak, merenung, dan menyadari bahwa masih banyak hal yang perlu dipelajari.

Sebuah penelitian dilakukan pada seluruh insinyur di suatu perusahaan, diminta untuk menilai kinerja mereka dibandingkan dengan rekan-rekan sejawat. Sebanyak 42% dari mereka percaya bahwa mereka termasuk yang terbaik dan berada di 5% teratas di perusahaan. Dalam kasus lain, para profesor di sebuah universitas diminta untuk menilai kualitas pengajaran mereka, apakah rata-rata, di bawah rata-rata, atau di atas rata-rata. Sebanyak 94% dari semua profesor merasa bahwa mereka mengajar dengan kualitas di atas rata-rata, sebuah angka yang tidak masuk akal secara matematis. Meskipun mereka sering menilai kinerja orang lain, tampaknya mereka kurang mampu menilai diri sendiri secara akurat.

Penelitian lain dilakukan pada peserta debat dalam sebuah turnamen universitas, di mana 25% dari mereka berada di posisi terbawah dalam babak pertama, kalah hampir empat kali dari lima pertandingan, namun mereka merasa bahwa mereka menang hampir 60%. Tanpa pemahaman yang jelas tentang aturan debat, para mahasiswa ini tidak mengetahui kapan dan seberapa sering argumen mereka dipatahkan.

Penelitian lain yang dilakukan di Amerika Utara, Eropa, dan Jepang menunjukkan bahwa budaya juga memainkan peran penting dalam bias kognitif ini. Dalam penilaian kemampuan mengemudi, 93% orang Amerika merasa bahwa mereka mengemudi lebih baik dari rata-rata, sementara 60% orang Swedia merasa demikian. Di Jepang, sikap umumnya adalah meremehkan kemampuan mereka sebagai strategi untuk melihat prestasi rendah mereka sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang.

Dalam penelitian Dunning dan Kruger, mereka menemukan bahwa semakin sedikit pengetahuan seseorang tentang suatu subjek, semakin rendah kemampuan metakognitif mereka terkait dengan subjek tersebut. Metakognitif adalah kesadaran tentang proses berpikir itu sendiri, cara otak menilai dirinya sendiri. Metakognitif yang rendah membuat mereka tidak menyadari ketidakmampuan mereka sendiri. Ini merupakan hal yang cukup menyedihkan, karena sering kali orang yang paling banyak bicara adalah yang paling tidak mengerti tentang topik yang dibicarakannya, dan mereka dipercaya karena keberanian mereka dalam berbicara, bukan karena pengetahuan mereka yang sebenarnya.

Baca Juga:  Ninik Rahayu Indeks Kemerdekaan Pers Menurun

Lebih menyedihkan lagi, orang yang kurang menguasai subjek tersebut cenderung tidak mau belajar. Mereka tidak membaca atau mendengarkan orang lain karena merasa mereka sudah menjadi yang terbaik. Bahkan lebih memprihatinkan, orang yang lebih berpengetahuan tentang subjek tersebut tidak mau mengajarkan yang tidak tahu, padahal seharusnya mereka melakukannya. Mereka merasa tidak mampu, meskipun seharusnya mereka lebih mampu. Akibatnya, semuanya menjadi stagnan.

Jika kita melihat media dan internet, kita sering mendengar suara orang-orang yang kurang paham, guru palsu, influencer berbicara keras, dan ahli gadungan. Meskipun mereka memiliki sedikit pengetahuan, hal itu tidak menghentikan mereka untuk bersuara. Sekali lagi, tong kosong nyaring bunyinya.

Saat ini, penyebaran informasi yang salah menjadi masalah besar. Orang-orang seringkali hanya mengetahui sedikit tentang suatu topik namun dengan cepat berbagi pengetahuan mereka kepada orang lain tanpa melakukan penelitian lebih lanjut. Mereka tidak meluangkan waktu untuk membaca atau mempelajari lebih dalam sebelum menyuarakan pandangan mereka. Kita sering menerima informasi dari orang yang paling vokal, bukan dari mereka yang lebih bijaksana namun cenderung diam. Ironisnya, ketika yang paling vokal adalah orang yang kurang paham, mengapa yang lebih paham justru terdiam? Inilah yang disebut sebagai efek Dunning-Kruger.

Dalam sebuah penelitian oleh Dunning dan Kruger, 65 peserta diberikan tiga tes. Orang-orang yang mendapat skor tertinggi kadang menyadari bahwa mereka cukup mampu dalam menguji, tetapi mereka juga merasa bahwa orang lain pasti lebih unggul dari mereka. Mereka cenderung meremehkan kemampuan mereka sendiri sambil melebih-lebihkan kemampuan orang lain. Oleh karena itu, sering kali orang yang penuh keraguan dan kebimbangan adalah mereka yang memiliki pengetahuan yang lebih dalam. Mereka yang cerdas seringkali tidak menyadari kecerdasan mereka sendiri, yang membuat mereka enggan untuk berbicara. Mudah untuk menganggap bahwa kita tidak istimewa karena kemampuan yang kita miliki mungkin juga dimiliki oleh orang lain. Namun, sebenarnya hal ini adalah sesuatu yang wajar, karena orang yang merasa seperti itu cenderung terus belajar, berbeda dengan mereka yang terjebak dalam efek Dunning-Kruger.

Namun, efek Dunning-Kruger ini tidak selalu negatif. Sebenarnya, ini adalah alasan mengapa kebanyakan dari kita bisa melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan. Di satu sisi, bias kognitif ini juga dapat mempermudah langkah awal tanpa perlu khawatir tentang hal-hal yang belum kita ketahui. Langkah pertama sering dianggap sebagai langkah paling sulit, tetapi kita dapat melangkah maju dengan keyakinan. Setelah langkah awal itu diambil, terserah kita apakah kita akan nyaman dengan ketidakpastian atau memilih untuk terus belajar. Penting bagi kita untuk mengatasi bias-bias kognitif tersebut dan menyadari bahwa kita baru saja menyentuh permukaannya dan masih banyak perjalanan yang harus kita tempuh.

Jika Kita merasa terlalu yakin dengan suatu hal, ada baiknya untuk memberi jeda sejenak sebelum berbagi dengan orang lain. Pertimbangkan ulang pandangan dan opini Kita, dan luangkan waktu untuk lebih memahami dengan membaca lebih banyak, karena mungkin ada informasi baru yang dapat mengubah sudut pandang Kita. Meskipun kita sering diberi nasihat untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain karena dapat mengurangi semangat, namun membandingkan diri juga bisa memberi manfaat. Dengan membandingkan diri, kita dapat menilai diri sendiri secara lebih objektif dan belajar dari perbandingan tersebut. Mengetahui seberapa baik kita dan kemampuan kita dibandingkan dengan orang lain dapat membantu kita menentukan apakah harus mengandalkan insting dan pengetahuan sendiri atau mencari nasehat dari orang lain. Sangat penting untuk terbuka terhadap masukan dan kritik. Meskipun orang lain tidak boleh meremehkan impian kita, kita juga harus menyadari bahwa terkadang kita mungkin terlalu membesar-besarkan kemampuan kita sendiri. Menerima kritik dan masukan dari orang lain dapat menjadi kesempatan besar untuk belajar dan berkembang. Memulai perjalanan baru memang tidak mudah. Apa yang awalnya tampak sederhana dapat menjadi tantangan yang menakutkan karena banyaknya pengetahuan yang harus dipelajari. Tetaplah bertahan. Semakin lama kita berjuang, semakin kuat kita menjadi. Sampai pada akhirnya, kita akan berhasil. Jangan puas dengan pengetahuan yang sedikit, selalu ada ruang untuk bertumbuh dan belajar lebih banyak.

Berita Terkait

Semarak Munas IKAPMII UNISMA: Antara Ajang Rutinitas Reuni dan Memberi Warna Dinamika Korp Pergerakan.

Toleransi Beragama,Perayaan Natal dan Bulan Gus Dur

Konten Promosi

Terkini

Siaran Langsung

Infografis

Sosial