Kala Ulama Tak Lagi Jadi Pewaris Nabi

Selanjutnya, antara ulama dan da’i/muballigh harus pula dibedakan. Ini juga tidak kalah urgen, sebagaimana ditegaskan Syekh Ali Jum’ah dalam kitab beliau, al-Mutasyaddidun. Tidak setiap orang yang proaktif berkecimpung di bidang dakwah -sebagai da’i/muballigh/penceramah- layak disebut ulama. Pasalnya, Sayyidina Ibnu Mas’ud pernah berkata: “Kalian hidup di zaman yang banyak ulamanya tapi sedikit penceramahnya. Dan akan datang setelah kalian suatu zaman di mana sedikit ulamanya tapi banyak penceramahnya.” Imam Ibnu al-Jauzi dalam Talbis Iblis juga mengingatkan bahwa di masa lampau para da’i/muballigh-nya adalah sekaligus ulama dan ahli fikih terkemuka, sementara belakangan ini banyak yang senang disebut ulama, padahal hanya bermodalkan kemahiran retorika, penampilan mempesona serta nasihat-nasihat yang dipersolek dengan selusin cerita. Dan karena terlanjur disebut ulama, mereka kemudian nekad menerjuni urusan fatwa lalu menafsirkan al-Qur’an dan mengajarkan Sunnah jauh ke mana-mana. Siapa lagi kalau bukan umat yang menjadi korban termalangnya!.

Menjadi ulama itu tidak asal-asalan. Dan tanggung jawabnya pun tidak main-main. Sungguh miris jika gelar ulama dienteng-entengkan, karena akibatnya, siapapun seenaknya dapat di-ulama-kan, sehingga warisan para nabi menjadi tercemarkan, umat Nabi termulia pun menjadi terpedaya dan terkorbankan. Imam Yahya bin Ma’in yang sangat dikenal kealimannya itu pernah ditanya seputar hukum peribadatan (tata cara menyembah Allah dengan benar), maka beliau berkata: “Celakalah diriku! Akankah Tuhan semesta alam disembah menurut pendapatnya si Yahya bin Ma’in?!.” Subhanallah! Patut diresapi dalam-dalam. Wallahu A’lam.

Siaran Langsung

Kiai Bertutur

Sosial

Add New Playlist