Ambisi Qaradhawi untuk buku ini adalah untuk merumuskan kembali aturan-aturan tersebut, untuk memberi mereka relevansi yang lebih besar dengan aspirasi Muslim kontemporer dengan menghubungkannya dengan konsep keadilan ekonomi, ketimbang mengakarkannya dalam pendekatan yang kaku dan ritualistik.
Keinginannya untuk mengartikulasikan interpretasi baru hukum Islam yang relevan dengan kehidupan Muslim kontemporer membuatnya mengejar metode ad hoc di mana ia bersedia mempertimbangkan pendapat non-standar, baik dari dalam maupun luar dari empat sekolah hukum Sunni yang dominan, termasuk dari pendapat ahli hukum dari Syiah.
Qaradawi juga berusaha untuk menafsirkan kembali aturan sejarah hukum Islam untuk mengurangi perbedaan antara Muslim dan non-Muslim. Hal ini bertujuan untuk mengintegrasikan ke dalam masyarakat Muslim modern. Karena itu, ia melegitimasi pendapat yang akan mengizinkan non-Muslim untuk menerima Zakat selama mereka tidak memusuhi umat Islam.
Qaradawi juga memberi perhatian pada interpretasi hukum dan instruksi publik sebagai bagian dari proyek pembaruan Islam yang berakar pada gerakan reformasi abad ke-19 yang dikenal sebagai Modernisme Islam yang dibawa oleh Jamaluddin al-Afghani dan murid Mesirnya, Muhammad Abduh.
Reformasi hukum adalah salah satu tindakan yang dianggap perlu oleh al-Afghani dan para pengikutnya jika masyarakat Muslim ingin mengamankan kondisi untuk kemerdekaan mereka sendiri dalam menghadapi imperialisme barat yang agresif.
Pada 2007, Syekh Yusuf Al Qaradhawi berkunjung ke PBNU di Jakarta. Dalam lawatan tersebut, Syekh Yusuf Qaradawi mengajukan pesan, agar NU mampu menjadi “dinamo” bagi kebangkitan umat Islam di Indonesia dan dunia. Menurutnya, Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia mempunyai kekayaan alam dan sumber daya manusia yang sangat potensial untuk “memenangkan” umat Islam dari tekanan dunia internasional. NF