Aulanews.id, Denmark – Perdana Menteri (PM) Denmark Mette Frederiksen menegaskan bahwa potensi pemberlakuan larangan pembakaran kitab suci keagamaan, termasuk Al-Qur’an, di negaranya tidak akan membatasi kebebasan berekspresi. Pemerintahnya sedang mencari ‘sarana hukum’ untuk menghentikan aksi semacam itu.
Seperti dilansir Politico, Jumat (4/8/2023), pernyataan itu menjadi komentar publik pertama yang disampaikan Frederiksen menyusul rentetan aksi protes yang melibatkan pembakaran kitab suci agama Islam yang marak di Denmark beberapa waktu terakhir.
“Saya tidak menganggapnya sebagai pembatasan terhadap kebebasan berekspresi bahwa Anda tidak bisa membakar kitab orang lain,” tegas Frederiksen dalam wawancara dengan media lokal yang dipublikasikan pada Kamis (3/8) waktu setempat.
“Itu bukan gagasan yang salah,” ujarnya, merujuk pada perdebatan yang muncul setelah pemerintah Denmark mengumumkan potensi larangan pembakaran Al-Qur’an pada Minggu (30/7) waktu setempat.
Pekan lalu, para demonstran sayap kanan menggelar unjuk rasa anti-Islam dan membakar salinan Al-Qur’an dalam aksi di depan gedung Kedutaan Besar Mesir dan Kedutaan Besar Turki di Kopenhagen.
Dalam tanggapannya, pada Minggu (30/7) waktu setempat, Menteri Luar Negeri (Menlu) Denmark Lars Lokke Rasmussen mengecam aksi semacam itu dan menyebut sejumlah kecil orang yang bertanggung jawab atas aksi itu tidak mewakili masyarakat atau nilai-nilai Denmark.
Frederiksen, dalam wawancara dengan media lokal, memperingatkan bahwa aksi protes semacam itu bisa memicu risiko keamanan bagi Denmark.
“Ada risiko keamanan yang nyata. Dan kemudian ada risiko bahwa kita akan terisolasi di panggung internasional. Dan hal ini sangat problematik sekarang, ketika kita menghabiskan banyak upaya untuk membangun kemitraan dan aliansi,” ucap Frederiksen dalam pernyataan terbarunya.
Sementara Rasmussen, seperti dilansir DW, mengungkapkan bahwa pemerintah Denmark sedang mencari ‘sarana hukum’ yang memungkinkan pihak berwenang untuk mencegah para demonstran melakukan aksi pembakaran Al-Qur’an.
Dituturkan oleh Rasmussen bahwa pemerintahnya tengah mempelajari ruang lingkup intervensi ‘dalam situasi khusus di mana, misalnya, negara, budaya, dan agama lain dihina, dan hal itu dapat menimbulkan konsekuensi negatif yang signifikan bagi Denmark, tidak terkecuali dalam hal keamanan’.
Dia menambahkan bahwa tindakan apa pun yang diambil akan berada ‘dalam kerangka kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh konstitusi dan dengan cara yang tidak mengubah fakta bahwa kebebasan berekspresi di Denmark memiliki cakupan yang sangat luas’.