Aulanews.id – Pemerintah Indonesia memerlukan dana iklim hingga 2023 sebesar US$ 281 miliar atau sekitar Rp 4.300 triliun (kurs Rp 15.325 per dolar AS). Dana iklim ini, diproyeksikan akan dipenuhi oleh investasi publik dan swasta.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, pendanaan ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai target nol emisi pada tahun 2060 atau lebih awal.
“Indonesia menyadari bahwa diperlukan pendanaan yang besar untuk melaksanakan dana iklim guna mendukung komitmen target iklim yang ambisius,” ucap Febrio Nathan Kacaribu dalam seminar “Energy Transition Mechanism: Asean Country Updates” di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Febrio menjelaskan, pmerintah terus mengembangkan banyak inisiatif dana iklim. Salah satunya, anggaran iklim baik di tingkat nasional maupun daerah.
Saat ini, transisi dan investasi ramah lingkungan mulai berkembang di Indonesia. Kumulatif hingga tahun 2021 untuk agenda aksi, pemerintah telah membelanjakan US$ 20 miliar atau sekitar 8% dari perkiraan tahunan yang dibutuhkan untuk dana iklim hingga 2030.
“Indonesia terbuka untuk transisi dan bisnis ramah lingkungan. Jadi pemerintah sudah menunjukkan komitmen, saat ini kami sedang melihat peluang bisnis karena bagaimanapun juga, pemerintah tidak dapat menyelesaikan semua masalah ini sendirian,” kata dia.
Febrio mengatakan, pemerintah telah menerbitkan kerangka peraturan untuk menerapkan penetapan harga dan pajak karbon. Melalui kebijakan ini pemerintah akan mengoptimalkan instrumen perdagangan karbon dan non-perdagangan, salah satunya adalah pajak karbon. Dengan demikian, pemerintah dapat menginternalisasi biaya eksternal emisi gas rumah kaca berdasarkan prinsip pencemar membayar.