“Pada Januari 2020, para pemimpin riset di Jenner sudah diberi tahu akan potensi wabah di UK, jadi sudah harus punya batch kecil virus untuk mulai membuat plasmid untuk virus,” tuturnya, dikutip dari University of Oxford Podcasts.
“(Tantangannya) pertama, kami tidak punya cukup perlengkapan untuk memproduksinya, hehe. Saya awalnya mengira ini hanya bercanda, karena yang kami punya di lab kami adalah bioreactor tradisional yang sangat tua, ini impresi pertama saya,” tuturnya. “Jadi kami mendirikan lab baru.”
Setelah riset dan uji bertahap, vaksin AstraZeneca lalu diproduksi massal dan didistribusikan secara global, termasuk di Indonesia. Carina mengatakan, berdasarkan studi OJ Watson dan rekan-rekan di The Lancet Infectious Disease 2022, vaksin AstraZeneza-Oxford menjadi vaksin Covid-19 yang paling banyak menyelamatkan nyawa pada pandemi 2021, sekitar 5 juta – 7 juta jiwa.
Capaian ini disusul Pfizer-BioNTech (5 juta – 7 juta jiwa), Sinovac (CoronaVac) sekitar 1 juta – 2 juta jiwa, dan Moderna (1 juta – 2 juta jiwa).
“Berdasarkan analisis pada 79 studi empiris, vaksin Covid-19 ini mampu menurunkan tingkat kematian dan mengurangi tingkat keparahan penyakit tersebut. Ini memperkuat posisi vaksin ini sebagai senjata kuat untuk melawan penyakit infeksius tersebut,” tutur Carina dalam orasi ilmiahnya, nnovative Strategies for Preventing and Overcoming Pandemics: Integrating Technology and Human Expertise.
Carina menuturkan, kecerdasan buatan (AI) dapat bantu menganalisis data sasaran vaksin dengan cepat. AI juga dapat dijadian alat memprediksi pandemi masa depan dan mempercepat pengembangan vaksin.
Lebih lanjut, pada era imunisasi terfokus, Carina mengatakan AI dapat membantu penyediaan vaksin terpersonalisasi. Kelebihan ini memungkinkan peningkatan efektivitas vaksin dan penurunan efek sampingnya.
“AI bisa dengan cepat menganalisis dataset besar, menelusuri informasi genetik untuk mengidentifikasi target vaksin potensial, determinan antigen, dan kandidat vaksin. Rancangan vaksin berbasis AI tidak hanya meningkatkan kemampuan kita merespons pandemi saat ini, tetapi memprediksi pandemi di masa depan,” jelasnya.
“Kemampuan AI untuk membuat model prediktif dan terpersonalisasi membuka pintu era imunisasi yang lebih fokus pada kebutuhan tiap individu. Kemajuan teknologi vaksin, kolaborasi internasional, dan pertimbangan etik menjanjikan masa depan penanganan potensi pandemi masa depan,” sambungnya.