Demikian pula Rasulullah telah memberikan teladan bahwa Islam disebarkan dengan damai, termasuk peperangan yang pernah ada. “Dakwah dan muhabbah yang dibangun dalam Islam tidak dicemari dengan kepentingan kekuasaan dan ekonomi,” tegasnya.
Karena itu, Kiai Miftah sangat mengapresiasi diselenggarakannya Halaqah Fiqih Peradaban yang digelar di sejumlah pesantren di Tanah Air. Diharapkan hasil dari kajian dan diskusi yang digelar memberikan sumbangan penting sebagai kontribusi NU bagi kemakmuran alam semesta. “Sekali lagi, hasil dari halaqah ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi peradaban dunia,” pungkasnya.
Sementara itu, wakil Rais Aam PBNU, KH Afifuddin Muhajir menjelaskan bahwa hingga kini hukum Islam mengalami sejumlah dinamika dan dialektika sesuai kawasan yang ada. “Jauh sebelum Indonesia merdeka, NU telah menyelenggarakan bahtsul masail untuk menjelaskan apakah negeri ini sebagai darul harbi atau daulah islamiyah,” katanya.
Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur tersebut menjelaskan awal kali saat Nabi Muhammad saw berada di Madinah. “Yang dibangun pertama oleh Nabi Muhammad adalah masjid sebagai tempat untuk menyimpan ayat Al-Qur’an dan sarana pendidikan,” ungkapnya.
Berikutnya adalah mempersaudarakan antara kalangan Muhajirin dan Anshar. Karena sebelumnya di kawasan Madinah terdapat dua suku besar yang saling berseteru yakni Aus dan Khazraj. Hal yang juga perlu dicatat bahwa selama di Madinah, Nabi Muhammad saw berhasil menyatukan kalangan Muslim dan Yahudi dengan konstitusi yakni mitsaqu Madinah.
Kiai Afif menjelaskan bahwa prinsip dari konstitusi adalah musyawarah, keadilan dan kesetaraan, serta kebebasan. Demikian pula hukum seharusnya tidak diskriminatif kepada seluruh warga negara yakni diperlakukan sama secara hukum. Di Indonesia, sesuatu yang bisa dijadikan contoh adalah Pancasila yakni keberadaannya tidak bertentangan dengan syariat, sesuai dengan syariat dan syariat itu sendiri. Di ujung keterangan, Kiai Afif menjelaskan hubungan agama dan negara yang bersifat simbiosis. “Bahwa agama memerlukan negara, demikian juga negara membutuhkan agama,” tandasnya. (Vin)