Lalu bagaimana dengan Penentuan Idul Fitri?
Yang jelas, penentuan pelaksanaan shalat hari raya sering kali menimbulkan permusuhan dan kebencian antar umat. Ini disebabkan perbedaan dalam penetapan awal Syawal. Perbedaan bukan hanya antar tokoh agama atau antar organisasi dan pemerintah.
Pertanyaannya adalah, siapakah yang harus dipatuhi masyarakat dalam hal penetapan 1 syawal? Dan bagaimana dengan masalah shalat Idul Fitri dan pelaksanaan zakatnya? Tentu, pada dasarnya, masyarakat wajib taat kepada Allah, taat kepada Rasulullah, dan kepada Ulil Amri dengan berbagai tafsirannya (selama kebijakan Ulil Amri tidak bertentangan dengan teks-teks qhat’iyah syari’ah). Nahdlatul Ulama telah memutuskan bahwa status pemerintah Indonesia adalah waliyu al-amri ad-dharuri bi as-syaukah.
Berbeda dengan Syafi’iyah. Menurutnya, tsubutu al-hilal dan kewajiban puasa untuk masyarakat umum harus melalui keputusan pemerintah. Sedangkan menurut selain Syafi’iyyah tidak disyaratkan keputusan pemerintah. Akan tetapi, jika pemerintah memutuskan tahqiqi al-hilal dan kewajiban puasa, maka masyarakat wajib mengikuti keputusan pemerintah. Sebab hukmu al-hakim yarfa’u al-khilaf.
Itu artinya, pertama, jika keputusan pemerintah dalam penetapan hari raya Idul Fitri didasarkan pada ru’yatu al-hilal (yang telah memenuhi syarat ru’yat), atau ikmalu Ramadhan (menggenapkan bulan Ramadhan menjadi 30 hari), maka masyarakat wajib menta’atinya, terlebih jika rukyatul hilal didukung oleh hisab. Jika seluruh ulama hisab sepakat bahwa hilal tidak mungkin dirukyah maka kesaksian rukyatul hilal harus ditolak.
Kedua, jika keputusan pemerintah dalam penetapan hari raya hanya didasarkan pada hisab semata, maka masyarakat tidak wajib mengikutinya. Sebab keputusan tersebut dianggap bertentangan dengan syari’ah menurut mayoritas fuqaha’.
Ketiga, jika terjadi perbedaan dalam penetapan hari raya, misalnya sebagian daerah melihat bulan sedangkan daerah lain tidak melihatnya, maka masyarakat wajib mengikuti keputusan pemerintah, berdasar pada “hukmu al-hakim au qaraaru waliyu al-amri yarfa’u al-khilaf wa yulzim fi al-umuri al-mukhtalafi fiha” (putusan hakim atau penetapan pemerintah dapat menghilangkan perbedaan pendapat dan sifatnya mengikat).
Keempat, bagi masyarakat yang telah menyakini melihat bulan dan tidak diterima kesaksiaannya dihadapan pemerintah, maka ia secara individu dan orang yang menyakininya boleh berhari raya dengan sembunyi-sembuyi dan tidak boleh menghabarkan kepada orang lain, agar tidak menimbulkan fitnah.