Gus Ulil: Hijab dan Teori Cahaya

Kita sudah menyelesaikan membahas orang-orang dan kelompok yang terhijab dengan cahaya, sebagian dari mereka gagal dalam memahami dan mengetahui Tuhan dengan tepat. Di bagian ketiga ini kita akan fokus membahas orang-orang yang (wushul) sampai kepada Tuhan. Siapakah mereka?

Adalah orang-orang yang tidak terjatuh kepada jebakan-jebakan yang terjadi pada kelompok-kelompok sebelumnya. Kelompok ini tidak terpukau dengan keindahan-keindahan cahaya, sehebat apapun cahaya sumbernya adalah Tuhan yang satu. Pikiran dan hatinya terpaut kepada yang menciptakan makhluk. Oleh karena itu, mereka bisa menembus segala hijab dan akhirnya sampai kepada Tuhan.

Secara manusiawi, bagaimanapun mereka akan tetap mengagumi ciptaan-ciptaan Tuhan, namun mereka lebih kagum akan sumber ciptaan itu yakni Tuhan. Inilah yang oleh al-Ghazali disebut al-Washilun orang-orang yang bisa sampai kepada Tuhan, dengan cara membersihkan (tanzih) Tuhan dari sifat-sifat yang menyerupai manusia.

Tanzih,Tuhan bisa dirasakan dengan pengalaman, dan sebagian pengalaman bisa diungkapkan dengan pengalaman manusia. Seperti al-Ghazali mengungkapkan pengalamannya dalam kitab Mishkat al-Anwar. Namun demikian, ungkapan pengalaman al-Ghazali dalam kitab Mishkat al-Anwar tak semuanya bisa mewakili Tuhan, hanya sebagian kecil saja.

Karena itu, kita tak bisa mengatakan apa yang diungkapkan itu adalah Tuhan. Jelasnya, Tuhan bisa dibahasakan dengan bahasa manusia, tapi itu bukan Tuhan. Yang dibahasakan itu bukan Tuhan (tujuannya untuk memudahkan memahami Tuhan, namun setelah dibahasakan itu bukan Tuhan yang sebenarnya).

Syahdan, kelompok ini juga terbagi menjadi beberapa bagian. Pertama, mereka yang penglihatannya terbakar. Artinya, segala sesuatu yang dia lihat selain Tuhan, akan terbakar. Dunia akan terbakar karena sinar kuat cahaya Tuhan, bahkan rusak-lebur (fana). Dia sudah menganggap selain Tuhan itu tidak ada (hancur). Meski sudah sampai (wushul), dia masih menyadari akan dirinya sendiri (masih sadar akan aku yang melihat engkau indah). Mereka memperoleh keindahan karena sampainya kepada Tuhan.

Kedua, adalah orang yang melampaui tingkatan pertama (elitnya para elit). Karena melampaui, mereka terbakar dengan kesucian-kesucian wajah Tuhan didalam diri mereka.  Kelompok ini melihat kesucian wajah Tuhan dalam dirinya, seolah keindahan Tuhan melebur dalam dirinya. Bahkan mereka mengalahkan kekuasaan kehebatan Tuhan. Ibarat seperti Nabi Musa yang semaput melihat keindahan Tuhan. Hingga akhirnya mereka menjadi larut bersama Tuhan dalam diri mereka. Al-Qur’an surah Al-Qasas mengatakan;

وَلَا تَدْعُ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَۘ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَهٗ ۗ لَهُ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

Artinya: “Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.” (Al-Qasas:88).

Dalam kitab al-Munqid min al-Dhalal al-Ghazali mengatakan, jalan untuk sampai kepada Tuhan banyak sekali, diantaranya adalah, jalan orang-orang fiqh, orang kalam, orang falsafah dan orang kebatinan. Namun, jalan yang terbaik untuk sampai kepada Tuhan adalah jalannya orang-orang sufi (tasawuf).

Bagai kelompok-kelompok ini, firmah Allah diatas sudah menjadi “roso”. Karena itu, maka tingkatannya sudah diatas yang objektif. Mereka juga menyebut dirinya sudah menyatu-padu dengan Tuhan (al-ittihad). Meski ittihad, konsep ini jelas berbeda dengan apa yang dimaksud al-Hallaj. Karena hulul dan ittihadnya al-Hallaj adalah “yang bertempat dalam diri manusia”. Sementara al-Ghazali sendiri tak percaya akan adanya ittihad, karena masih adanya dualitas yang menyatu.

Dari kelompok ini ada juga yang tidak naik didalam proses menuju pada Tuhan. Naik, karena suluk kepada Tuhan adalah proses naik, sementara memahami munusia dan makhluk ada turun. Orang-orang ini naik-menaiki Tuhan tanpa adanya proses (meloncat dari tahapan-tahapan). Ibarat seniman dan ilmuan. Kita tahu, para ilmuan ketika memproses data membutuhkan waktu, sementara seniman ketika ada ide-ide, seketika langsung jadi, seolah-olah sudah mateng-paten.

Dari sini kita tahu bahwa jalan menuju Tuhan sangat beragam. Misalnya, Nabi Ibrahim as ketika mencari Tuhan dengan proses melihat bintang-bintang, rembulan, matahari, hingga akhirnya menemukan yang Tuhan hakiki. Berbeda dengan Nabi Muhammad saw yang langsung menemukan dan berjumpa dengan Tuhan yang hakiki.

Namun terlepas dari itu semua, menurut Gus Ulil, bahwa untuk memahami Tuhan yang sesungguhnya, kita harus melalui dengan jalan-jalan (suluk) yang terjal, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha Misteri. Jalan yang ditempuh oleh ulama-ulama Islam seperti al-Ghazali misalnya, jalan kombinasi dari dua hal, yaitu jalan yang mengikuti wahyu disertai dengan penalaran-penalaran dan silogisme yang tepat benar. Wallahu a’lam bisshawab.

 

)* Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di Ponpes Nurul Jadid, dan Kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Siaran Langsung

Kiai Bertutur

Sosial

Add New Playlist