Golongan ketiga, adalah orang-orang terhijab dengan cahaya ketuhanan yang bersifat penalaran (silogisme: premis mayor, minor dan konklusi) logical fallacy. Silogisme adalah salah satu prosedur cara berpikir yang dipakai oleh semua manusia. Di sadari atau tidak, manusia pasti bernalar dengan proses logika (muqayasah al-aqliyah). Karena pada dasarnya, manusia diciptakan oleh Tuhan diberi kemampuan untuk bernalar.
Syahdan, kelompok ketiga ini adalah orang-orang yang tak bisa sampai kepada ma’rifah karena terhijab dengan penalaran-penalaran yang keliru. Sehingga mereka menyembah Tuhan yang bersifat mendengar dan melihat yang dibersihkan dari segala arah (tidak menggambarkan Tuhan yang bertempat atau Tuhan yang mutahayyiz).
Namun demikian, mereka masih saja memahami sifat-sifat Tuhan dengan kesesuaian sifat-sifat mereka. Artinya, ia membayangkan sifat-sifat Tuhan sama halnya dengan sifat manusia. Pendek kata, kemampuan mendengar dan melihat Tuhan sama (disamakan) dengan manusia. Bahkan, kadang-kala mereka mendeklarasikan firman Tuhan sebagai (layaknya) suara dan huruf seperti pembicaraan kita. Dalam filsafat Islam, kelompok ini disebut antropomorfis. Mereka berkeyakinan bahwa Tuhan secara bentuk sama dengan manusia pada umumnya (musabbihah).
Ada juga sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa firman Tuhan (kalam Tuhan) sama dengan “kretek” pernak-pernik dalam hati (hadits al-nafs). Meski demikian, sebenarnya, konsepsi mereka sudah (mungkin sedikit) berada pada jalur yang benar, karena Tuhan sudah tidak digambarkan dengan jasad, jism dan sesuatu yang materil. Hanya saja kegelapan-kegelapan mereka berasal dari muqayasah al-aqliyah.
Sekiranya mereka ditanya, misalnya, bagaimana hakikat mendengar dan melihatnya Tuhan? Dia akan menjawab, mendengar dan melihatnya Tuhan tidak sama dengan mendengar dan melihatnya manusia. Tentu secara harfiyah, mereka menafikan dan menolak adanya keserupaan mendengar dan melihatnya Tuhan dengan manusia. Namun, jika mereka ditanya lebih dalam, mereka akan kembali dan menjawab, yang secara substansi ada keserupaan antara mendengar dan melihatnya Tuhan dengan manusia. Disinilah, menurut al-Ghazali, kegelapan-kegelapan terjadi pada mereka (jatuh pada logical fallacy).
Makna-makna seperti mendengar, melihat dan lainnya, mereka tidak mengetahuinya. Begitu juga, dalam masalah iradah-nya (kehendak) Tuhan, yang ketika ditanya lebih jauh, mereka akan menjawab bahwa kehendak Tuhan adalah sesuatu yang baru dan sama dengan kehendak manusia. Karena kehendak bagi mereka adalah sesuatu yang ada pada diri tiap manusia. Karena itu, jika kita menghendaki sesuatu, yang terjadi adalah kita berkehendak dan menghendaki sesuatu.
Termasuk dalam golongan yang ketiga adalah mereka yang terhijab dengan kemurnian cahaya (golongannya sangat banyak sekali). Al-Ghazali mengklasifikasikan golongan ini menjadi beberapa golongan. Pertama, sekelompok dari mereka mengetahui (mengenal) makna sifat-sifat Tuhan secara tepat mendalam (tahqiq), dan juga mengetahui nama sifat-sifat Tuhan seperti kalam, sifat kehendak, sifat kemampuan, sifat ilmu dan sifat-sifat Tuhan lainnya. Karena dengan sifat-sifat Tuhan, seseorang bisa sampai dan mengenal Tuhan.
Bahkan mereka mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan seperti sifat ilmu, kehendak, dan kalam berbeda dengan sifat-sifat yang ada pada diri manusia. Namun demikian, fatalnya, orang-orang ini tidak mau memahami Tuhan dengan sifat-sifat itu sendiri (secara otonom). Baginya, seolah-olah sifat Tuhan tidak sempurna jika tidak disandingkan dengan objek diluarnya (dalam filsafat fenomenologi Edmund Husserl menyebutnya dengan “intensionality”).
Kedua, adalah mereka yang melihat dunia atas (langit) mengandung banyak keragaman benda (ktasroh). Benda-benda ini semuanya bergerak. Pertanyaannya adalah, dari mana asal-usulnya gerakan ini ada? Yang pasti tentunya kalau ilmu fisika menjawabnya karena ada hukum-hukum alam, termasuk ada gaya gravitasi dan lain sebagainya.
Namun hal ini berbeda dalam pandangan filosof Yunani yang di ikuti oleh filosof muslim seperti al-Ghazali misalnya mengatakan, bahwa benda-benda itu bergerak karena ada yang menggerakkan-penggerrak (al-muharrik). Dan penggeraknya adalah sesuatu yang lain (ada yang menggerakkan), dalam bahasa agama disebut dengan malaikat. Malaikat yang menggerakkanya punyak hubungan dengan cahaya-cahaya Tuhan; ibarat bintang-bintang atau benda langit yang mengeluarkan cahaya.
Tak hanya itu, kelompok ini juga berpandangan, bahwa langit-langit yang dekat dengan bumi berada dibawah kandungan atau berada dibawah langit diatasnya yang mengelilinginya (setiap satu langit berada dibawah langit lain, dan begitu seterusnya), hingga langit paling jauh yang penggeraknya hanya satu (malaikat penggeraknya hanya satu dan inilah yang disebut Tuhan). Pandangan ini muncul karena, manusia melakukan observasi benda-benda langit dari arah bumi yang kelihatannya banyak bintang-bintang. Al-Farabi dan Ibnu Sina menyebut pandangan ini dengan “teori emanasi”.
Pertanyaanya adalah, dimanakah salah mereka? Mereka mengatakan, bahwa Tuhan itu tidak bekerja menggerakkan langit secara langsung. Artinya, Tuhan masih butuh seorang asisten (malaikat) satu yang menjadi sumber dari segala gerak itu. Para filosof Yunani sampai akan pandangan-pandangan ini karena, mereka adalah orang-orang yang ingin mentanzihkan Tuhan dari seluruh unsur-unsur ktasrah. Dengan demikian, segala hal yang mengandung unsur keragaman, maka harus dibersihkan dari Tuhan. Salah satu kalangan Islam yang terpengaruh dengan pandangan ini adalah Muktazilah (yang menjadi sasaran kritik ulama Asy’ariyah).
Menarik, Bertens dalam bukunya Sejarah Filsafat Yunani yang ditulisnya, menjelaskan Allah sebagai penggerak pertama. Tapi ini adalah rujukan ia beliau ambil langsung dari karya Aristoteles dalam Metaphysica, buku XII. Dalam buku tersebut juga diakui sebagai gerak abadi yang terdapat di dunia. Bagi Aristoteles, gerak alam jagat raya tidak mempunyai awal ataupun akhir. Sebab, sesuatu yang bergerak, digerakkan oleh sesuatu yang lain. Tetapi ada satu penggerak yang menyebabkan segala sesuatu bergerak tapi ia sendiri tidak digerakkan.
Maka, penggerak pertama bersifat abadi, dan begitu juga gerak yang disebabkan oleh penggerak tersebut. Penggerak ini rupanya terlepas dari materi, karena segalanya yang mempunyai materi, mempunyai juga potensi untuk bergerak. Allah sebagai penggereak pertama tidak mempunyai potensi apapun juga. Allah harus dianggap sebagai “Aktus Murni”, yakni ia yang mengada secara murni, tanpa potensialitas menjadi yang lain.
Tak hanya itu, Bertens juga menambahkan bahwa bagi Aristoteles, Aktus Murni atau Actus Purus ini tidak lain adalah sebuah pemikiran saja. Karena Allah bersifat immaterial, karenanya ia tidak lain adalah kesadaran atau pemikiran. Aktus pemikiran ini rupanya berlangsung terus, tanpa karena tidak berada dalam keadaan potensi saja. Aristoteles rupa-rupanya membedakannya dari penyebab efisien. Sebab, jika penyebab efisien, maka ia akan mempengaruhi hasilnya dan dengan demikian ia mempunyai potensi. Allah adalah penyebab final. Semua yang ada, mengejar penggerak sempurna ini.
Maka, gerak dalam alam raya ini sama saja dengan gerak menuju Allah. Tapi harus diingat, bahwa Allah sebagai penggerak pertama tidak mengenal atau mencintai sesuatu yang lain dari pada dirinya sendiri. Sebab bagi Aristoteles, jika Allah mengenal dunia, Dia harus mempunyai potensi juga. Dan jika hal itu mungkin, maka Ia bukanlah suatu Actus Purus. Dari sini kemudian menjadi tampak bahwa pandangannya tentang penggerak pertama ini rupanya monoteisme, karena di akhir buku XII, ia menegaskan bahwa hanya ada satu penggerak yang tidak digerakkan.
Bertens juga mencatat dalam karya-karya lain, ternyata Aristoteles juga menyebut allah-allah lain, dalam bentuk jamak. Hal ini menjadi mungkin karena memang tidak ada data akurat yang menegaskan penolakan Aristoteles terhadap Politeisme sebagaimana yang dihidupi oleh sebagian orang sebangsanya pada waktu itu (mungkin semasa dengan Aristoteles).
Jelas sudah bahwa pemahaman Aristoteles tentang penggerak pertama, menghadirkan konsekuensi bahwa penggerak tersebut tidak lain adalah penggerak yang mengada secara sempurna tanpa ada potensial di dalamnya. Dari Aristoteles kita sudah mengerti bahwa sesuatu dikatakan sempurna apabila ia aktual; potensialitas selalu berati ketidaksempurnaan karena belum aktual.
Dengan demikian, sesuatu yang sempurna, merupakan apa yang aktual sebagai pengada. Dikatakan sempurna dalam hal ini berarti baik, Dia adalah kesempurnaan tertinggi dan kepenuhan segala kebaikan. Maka, apapun yang digerakkan oleh-Nya, memiliki kebaikan, namun sesuai dengan esensi mereka masing-masing.