Gus Ulil: Hijab dan Teori Cahaya

Aulanews.id – Adakalanya cahaya Tuhan tidak sampai kepada manusia. Kita tahu bahwa cahaya Tuhan adalah asal usul dari segala yang ada seperti dikatakan dalam kitab al-Hikam: “keberadaan (being) ini atau yang ada ini adalah gelap-kegelapan”. Itu artinya bahwa pada dasarnya segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini adalah gelap, baru dikatakan terang jika ada suatu kebenaran sejati (al-haqq). Dengan kata lain, Tuhanlah yang membuat sesuatu itu menjadi terlihat terang-benderang.

Argumen ini paralel dengan apa yang dikatakan oleh Albert Einstein, bahwa “salah satu hal yang menakjubkan di alam raya ini adalah segala sesuatu yang ada bisa dijelaskan”. Ada penjelasan misalnya, mengapa ada fenomena gravitasi, kenapa ada hukum kausalitas, kenapa sesuatu itu ada dan bisa dijelaskan?

Karena itu, ketika kebenaran datang, maka sesuatu yang semula “keos” kacau-balau menjadi sesuatu yang teratur (nomos: aturan) dan bisa diterangkan, karena nomos adalah suatu aturan-aturan hukum yang teratur. Inilah cahaya Tuhan menurut Einstein yang bertebaran di alam raya bisa terlihat dengan fakta-fakta teratur (bisa dijelaskan).

Menurut Gus Ulil, kategori ilmu cahaya ini adalah “al-ilm mukasyafah”. Adalah suatu lmu yang tujuannya untuk diketahui tanpa ada implikasi praktisnya. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah ada sesuatu yang bisa diamalkan dari ilmu Mishkat al-Anwar? Jawabannya tidak ada. Mengapa? Karena Mishkat al-Anwar dalam hal ini ilmu cahaya, hanya memberikan pengetahuan saja, sehingga setelah kita paham akan menjadi terang-benderang dengan cahaya.

Pepatah mengatakan: “sesuatu itu ketika sudah jelas asal usulnya, maka tidak akan mengherankan”. Semula yang pada awalnya mesterius, seketika akan hilang begitu saja (ketakjuban kita hilang). Namun demikian, tak semua cahaya itu bisa sampai kepada manusia karena terhijab. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Allah memiliki 70 hijab. Sebagian ada yang mengatakan 700 dan 70000 hijab yang menghalang”.

Yang terhijab dengan cahaya dan kegelapan

Termasuk golongan ini adalah, pertama mereka yang hijabnya (penghalang) terhalang dari cahaya kegelapan yang berasal dari al-hiss (panca indera). Kedua, kegelapan dari al-khayal, kekuatan yang bukan bagian indera tapi lebih tinggi dari indera seperti, kemampuan manusia merekam memori. Ketiga, kegelapan yang berasal dari kegiatan penalaran (silogisme). Ia tidak sampai pada cahaya kebenaran lantaran berfikir keliru, hingga akhirnya jatuh pada logical fallacy.

Golongan pertama adalah para penyembah berhala. Secara garis besar, mereka percaya akan adanya Tuhan, tapi konsepsinya keliru, sehingga ia menekatkan yang bukan Tuhan menjadi Tuhan. Bagi mereka Tuhan adalah sesuatu yang superior, lebih tinggi, berharga dan menang diatas jiwa-jiwa yang gelap. Alih-alih superior, justru mereka terhalangi (penjara) dengan kegelapan-kegelapan panca indera, sehingga tidak bisa melampaui akan alam-alam (dunia kodrati).

Mereka mengindentikan Tuhan dengan sesuatu yang bisa dilihat dan diraba (korporealistik dan materil). Oleh karena materil, mereka menjadikan batu-batu mulia seperti emas, perak, dan lainnya sebagai sosok yang digambarkan seperti Tuhan (menciptakan berhala lalu dianggap Tuhan). Karena ketikmampuannya melihat, mereka dihijab dengan cahaya keagungan Tuhan (al-izza) dan keindahan Tuhan (al-jamal).

Kedua, adalah sekelompok dari orang-orang Turki yang paling jauh (orang-orang Yunani seperti, Athena, Makedonia dan lainnya). Baginya, tidak ada agama dan hukum syariat, dalam hal ini hukum yang berasal dari wahyu (bukan dari hasil penalaran rasional). Mereka juga percaya akan adanya Tuhan, dan menyakini bahwa Tuhan adalah paling indahnya sesuatu yang indah.

Kalau kita merujuk kepada Filsafat Yunani, salah satu ajaran Filsafat Neo-Platonisme adalah “Yang Indah”. Dengan tokoh utamanya Plotinos, penafsir ajaran Plato yang banyak berpengaruh di abad pertengahan (keemasan Islam). Bukunya yang terkenal adalah “al-tasu’ah” yang mengupas tuntas tentang ajaran-ajaran keindahan.

Keindahan, jika mereka melihat sesuatu seperti pepohonan dan bebatuan, maka seketika mereka bersujud dan takjub. Jelasnya, mereka melihat Tuhan yang menitis (mereinkarnasi) dalam bentuk keindahan-keindahan yang sudah ada di alam raya. Namun, tak bisa dipungkiri, secara esensi mereka sama dengan orang-orang penyembah berhala (menggambarkan Tuhan dalam bentuk materil dan menyembah akan keindahan-keindahan semata).

Alih-alih menggambarkan Tuhan, mereka berkata, semua cahaya tidak sendirian memonopoli matahari (bukan sekedar matahari), tapi juga bisa berdiri sendiri bagi lainnya matahari (sesuatu yang bersifat konseptual dan maknawi). Tegasnya, mereka juga mengatakan tidak ada sekutu Tuhannya, karena baginya, Tuhan haruslah yang paling tertinggi (agung).

Dengan argument ini, secara tidak langsung, mereka menyembah akan cahaya yang mutlak (yang mencakup semua cahaya-cahaya di alam). Ironisnya, mereka juga menduga, bahwa cahaya mutlak ini adalah Tuhan yang sebenarnya. Kalau kita merujuk pada sejarah yang dialami al-Ghazali di Persia, kelompok-kelompok ini adalah Zoroaster. Konon, bangsa Persia mempunyai dua pandangan. Pertama Tuhan Kegelapan (sumber kejahatan) dan kedua Tuhan Cahaya (sumber segala kebaikan).

Inilah agama tsanawiyah atau dualisme (agama sebelum Zoroaster) yang muncul di Persia sekitar 1500 SM yang pada perkembangan berikutnya ada Nabi (pembaharu) didalam agama Persia yaitu Zoroaster (agamanya Zoroastrianisme). Baginya, Tuhan yang hakiki adalah hanya Tuhan Cahaya Mutlak. Karena itu dalam sejarah besar agama-agama dunia, agama ini disebut dengan agama monoteistik (agama tauhid).

Lebih dari itu, kelompok ini juga menegaskan bahwa, tidak baik menisbatkan kejahatan-kejahatan kepada Tuhan. Tuhan Cahaya tidak bisa dianggap sebagai Tuhan yang bertanggung jawab menciptakan hal-hal jahat didunia, karena Tuhan Cahaya adalah Tuhan kebaikan. Dengan demikian, menurutnya, jika ada suatu kejahatan, otomatis pasti ada pihak ketiga yang bertanggung jawab akan lahirnya kehajatan-kejahatan.

Disamping membersihkan (tanzih) Tuhannya, rupa-rupanya ia juga menjadikan Tuhan Cahaya Mutlak dan Tuhan Kegelapan menjadi pertempuran yang abadi. Dan mengasal-usulkan alam ini dengan kegelapan-kegelapan.

Kelompok lain dalam kategori kedua ini adalah, mereka yang terhijab dengan sebagian cahaya-cahaya, dalam hal ini hijabnya berupa cahaya khayali (yang berasal dari pikiran). Istilah khayali dalam filsafat Ibnu Sina adalah satu konsep dan kekuatan dalam diri manusia yang paling rendah. Artinya, kekuatan ini berfungsi hanya untuk merekam data-data yang diperoleh dari panca indera (bersifat memorial).

Mereka hanya mampu melampui indera mata menuju pada kemampuan yang lebih tinggi dalam diri manusia (al-khayal), dan menetapkan akan hal-hal yang bisa di indera mata (tak mungkin bisa melewati khayal). Pun juga, mereka menyembah yang maujud bersinggah di Arasy. Kelompok inilah yang disebut al-Ghazali dengan kelompok mujjassimah, yang dalam khayalnya Tuhan itu ada jism-nya.

Al-Ghazali juga mengatakan bahwa kelompok-kelompok inilah yang paling rendah disamping juga ada kelompok karramiyah. Sementara yang paling tinggi diantara kelompok kedua ini adalah, mereka yang mengingkari kejisman Tuhan, dan segala sifat-sifatnya jism.

Siaran Langsung

Kiai Bertutur

Sosial

Add New Playlist