Al-Ghazali sendiri juga berkenan untuk dihentikan hukuman itu. Sehingga, Rasulullah pun menghentikan cambukan itu. Beberapa saat kemudian, Al-Maghribi terbangun dari tidurnya. Anehnya, ia merasakan sakit di punggungnya dan terdapat bekas cambukan.
Syahdan, prestasi-prestasi unik dan cemerlang seperti al-Ghazali ini (mungkin) tiada bandingnya dalam sejarah dunia. Tak heran jika banyak sebutan yang di alamatkan padanya seperti julukan sang “Hujjatul Islam” dan lainnya. Sebuah hadits mengatakan:
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
“Sesungguhnya Allah Swt mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui untuk umat agama.”
Masih tentang al-Ghazali. Al-Ghazali, memang spesial dan beda. Dia punya motode indah saat menulis kitab-kitab; pertama-tama terlebih dahulu menjelaskan madzhab yang ingin dan akan dia kritik, tentu dia sudah mendalaminya. Gaya itu dituangkan dalam kitabnya yang dinamainya dengan Maqasid Al-Falasifah dan kitab Tahafut al-Falasifah. Seperti halnya didalam al-Munqid Min adz-Dzalal saat dia mengkritik aliran kebatinan.
Tentu metodenya tidak ditujuhkan kepada pembaca khusus melainkan kepada seluruh umat. Cara yang ditempuh al-Ghazali itu sudah banyak dilupakan oleh pengarang lain terutama pengarang kontemporer, karakteristik lain dalam Ihya’ Ulumuddin dia bermula menguraikan tentang “Ishlah al-Qulub” misalkan, dia, ketika membicarakan tentang keutamaan-keutamaannya. Dimulai dengan memuji memakai ayat-ayat, lalu dengan Hadist, khabar, atsar. Setelah itu, menuturkan sebuah kisah atau ceria yang dapat menyentuh pembacanya.
Tak heran, jika Ihya’ Ulumuddin sebagai karya monumental dari kian banyak karyanya terdiri dari empat juz: al-Ibadat, al-Adat, al-Muhlikat dan al-Munjiyat dan masing-masing bagian terdiri dari sepuluh pasal. Namun, al-Ghazali menggunakan kata “kutub” untuk menjelaskan bagiannya, karena di dalam keterangannya dia menjelaskan secara utuh. Inilah isi dari kitab Ihya’ itu, yang banyak mendapatkan sanjungan dan tidak sedikit menuai kritikan dari ulama ulama semasanya dan sesudahnya.
Al-Ghazali menggunakan metode sufistik etik dalam penulisannya dan kitab itu termasuk kekayaan islam dalam bidang akhlaq oleh karenanya ia adalah dikategorikan kitab akhlaq, bahkan ia dikategorikan sebagai kitab nalar sang sufi. Bukan hanya itu saja, Ihya’ Ulumuddin merupakan ensiklopedia Islam terbesar.
Bahkan, sebagian pakar menganggap Ihya’ adalah kitab yang membelah Islam dari peradaban materialisme yang menakutkan, sedangkan bagi para pakar fikih, Ihya’ adalah kitab usul yang disampaikan dengan gaya nasehat.