Ketiganya, imbuhnya, sudah tidak diragukan lagi ke-kiai-annya, dan kontribusinya bagi NU sudah banyak.
Pertimbangan utama dalam pemilihan Ketum PBNU tetap didasarkan kiprahnya di nasional maupun internasional.
“Saat ini PBNU tidak hanya menangani permasalahan ummat saja. Permasalahan ummat sekarang pun semakin kompleks, semakin berat. Dibutuhkan sosok pemimpin yang kapasitasnya nasional dan internasional. Harus memiliki jejaring internasional juga,” tukasnya.
Ditanya mengenai isu KH Yahya Cholil yang pernah berkunjung ke Israel, Fahrul mengatakan hal itu tak menjadi masalah. Hal itu, kata Fahrul, membuktikan bahwa jejaring KH Yahya Cholil tak hanya di Indonesia saja tapi juga sampai ke luar negeri.
“Gus Dur juga punya isu kontroversial seperti pernah berkunjung Israel, tapi itu jangan di-judge dengan isu mendukung kemerdekaan Israel. Kalau itu hanya langkah strategis dan taktis itu perlu dipertimbangkan. Sehingga tidak sampai menjalin hubungan secara diplomatis. Kalau itu untuk kebaikan Indonesia dan ummat, kenapa tidak,” tegasnya.
Bagaimana peluang Cak Imin (Muhaimin Iskandar, red) menjadi Ketum PBNU ?
“Menurut saya kurang tepat ya kalau Cak Imin maju jadi ketum PBNU. Habibatnya beliau di partai tidak perlu merambah ke PBNU apalagi wilayah struktural. PBNU itu wilayah ulama bukan politisi, sehingga nanti kurang elok kalau Cak Imin maju,” jawabnya lugas.
Menurutnya, seringkali acara muktamar NU disusupi dengan agenda politik oleh partai politik. Salah satunya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), partai politik yang identik dengan NU.
“Hubungan PKB sendiri dengan NU itu ‘jinak-jinak merpati’, pertimbangan keumatan itu normatif jangan direduksi dan didistorsi menjadi PKB. Sikap PKB dengan NU tidak bisa sepenuhnya dihindari, jangan sampai PKB memanfaatkan NU untuk kepentingannya,” katanya.