Aulanews.id – Meski masih beberapa bulan lagi, Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) sudah jadi perbincangan warga Nahdliyyin. Hal ini dikarenakan peran Nahdlatul Ulama sebagai Organisasi Masyarakat terbesar di Indonesia, yang sudah terbentuk sebelum negeri ini merdeka.
Fahrul Muzaqqi pengamat politik Universitas Airlangga mengingatkan dalam pemilihan Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), ‘Ahlul Halli Wal Aqdi’ tetap harus diperhatikan. Dia mengatakan, di antara para ulama sudah bisa menentukan pilihannya sendiri, sehingga bukan ummat yang menentukan tetapi para ulama sendiri.
Fahrul menuturkan di NU ada ‘Ahlul Halli Wal Aqdi’ yang merupakan institusi khusus yang berfungsi sebagai badan legislatif yang ditaati. Berisi orang-orang berpengaruh dalam jamiyyah NU, dan dibentuk karena keperluan khusus pula.
Secara bahasa, kata Fahrul, ‘ahlul halli wal aqdi’ berarti orang yang berwenang melepaskan dan mengikat. Disebut ‘mengikat’ karena keputusannya mengikat orang-orang yang mengangkat ahlul halli; dan disebut ‘melepaskan’ karena mereka yang duduk di situ bisa melepaskan dan tidak memilih orang-orang tertentu yang tidak disepakati.
Jamiyyah NU kemudian menggunakan tradisi ini dalam bentuk badan resmi bernama syuriyah dan berfungsi sebagai ahlul halli. Karena posisinya, mestilah ditaati, karena syuriyah menjadi institusi tertinggi, terdiri dari rais aam, yang diangkat oleh muktamar dan para ahlul halli yang dipilih formatur.
Jadi, lanjutnya, ulama-ulama khusus itu mempunyai privilege menentukan arah dan tujuan lembaga PBNU.
“Karena bagi kaum Nahdliyyin tak hanya menggunakan rasional saja dalam memilih seorang pemimpin tetapi juga dilihat sisi spiritualnya. Sehingga marwah organisasi sebesar NU harus tetap dijaga,” ujar Fahrul ketika ditemui Optika di Surabaya, Sabtu (9/10/2021).
Menurut Direktur Kajian Strategis Lakpesdam PWNU Jatim ini, agak kurang etis apabila ada lembaga survei yang melakukan survei untuk melihat elektabilitas mana yang tertinggi untuk memimpin PBNU.
“Rasanya kurang etis apabila ada lembaga melakukan survei untuk calon ketua umum PBNU, karena hal ini berbeda dengan pilihan demokrasi pada umumnya seperti pemilihan kepala daerah. Sehingga hal itu kurang tepat. Karena bagaimanapun itu filosofi NU adalah Nahdlatul Ulama yang artinya kebangkitan ulama, bukan Nahdlatul Ummat,” ujar Fahrul.
Fahrul juga kurang sepakat dengan sistem ‘one man one vote’ yang akan dilakukan ketika Muktamar NU pada bulan Desember mendatang.