Eskalasi Sengketa Laut Cina Selatan: Filipina Menyusun Strategi Hukum Baru

Hal ini didefinisikan sebagai zona yang membentang hingga 200 mil laut (370 km) di luar garis pantai suatu negara dimana negara tersebut tidak memiliki kedaulatan namun mempunyai hak untuk mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah tersebut. Beijing secara konsisten mengatakan tidak akan menerima keputusan Den Haag. Sementara itu, legislator Filipina telah memasukkan temuan pengadilan tersebut ke dalam berbagai rancangan undang-undang zona maritim yang diajukan ke Kongres sejak tahun 2021, termasuk versi yang baru saja disahkan.

Liu, dari Grandview Institution, mengatakan undang-undang tersebut mungkin bertujuan untuk memperkuat bagian-bagian dari keputusan arbitrase yang menguntungkan Manila dan menegaskan klaim ZEE mereka sehingga Scarborough Shoal dan Kalayaans akan termasuk dalam zona maritimnya. Klausul yang menyatakan bahwa “semua pulau buatan yang dibangun di ZEE Filipina akan menjadi milik pemerintah Filipina” dapat memberikan dasar untuk mengembangkan fitur-fitur di bagian rantai Spratly yang dikendalikan oleh Manila atau membantu menantang pembangunan oleh negara lain, ujar Liu. Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok telah mengembangkan infrastruktur sipil dan militer di wilayah Laut Cina Selatan yang dikuasainya, termasuk landasan pacu dan akomodasi pasukan, sementara Vietnam juga meningkatkan reklamasi lahan di Kepulauan Spratly. Dia menambahkan bahwa undang-undang tersebut juga dapat menambah kesan legitimasi terhadap tindakan Filipina untuk “mengubah status quo”, termasuk di Second Thomas Shoal di mana negara tersebut berupaya memperbaiki kapal Perang Dunia Kedua yang berkarat dan kandas di sana dua dekade lalu untuk memperkuat klaimnya.

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan komitmen Indonesia untuk mendorong perdagangan yang terbuka, teratur, namun tetap adil dalam Leaders Retreat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) 2024...

Kiai Bertutur

Sosial

Add New Playlist