“Nanti akan saya coba di rumah,” terangnya.
Sementara itu Ketua APEI Jatim Riamah, menjelaskan ecoprint terus tumbuh dan berkembang. Berawal dari hobi, kini produk ecoprint berpotensi menambah penghasilan.
“Apalagi di masa pandemi, banyak para suami terkena PHK. Maka para istri turut berjuang untuk mensejahterakan keluarga, karena akhirnya mereka menjadi tulang punggung keluarganya dengan menambah penghasilan dengan memproduksi ecoprint,” tutur Riamah yang mengaku mulai serius belajar ecoprint sejak 3 tahun lalu.
Dalam perkembangannya produk-produk dengan bahan ecoprint semakin banyak diminati dan diterima oleh masyarakat. Produk ecoprint pada awalnya hanya berupa kain, namun kini ecoprint bisa di atas kulit, kertas, plastik, keramik dan bambu. Produknyapun jadi bervariasi mulai dari kain panjang, busana wanita dan pria, hijab, pashmina, pernak-pernik, assesoris, sepatu, tas, mug dan lainnya.
“Pangsa pasar pun hingga merambah nasional dan internasional,” lanjut Riamah.
“Sesuai namanya, produk ecoprint adalah ramah lingkungan. Semua produk ecoprint terbuat dari bahan alam, mulai dari kainnya menggunakan serat alam, seperti katun primis, rayon hingga sutera,” jelasnya.
“Proses pewarnaan juga menggunakan warna alam, yang terbuat dari daun, kayu, umbi hingga akar tumbuhan dari alam Indonesia. Bukan pewarna sintetis,” lanjut Riamah yg sehari-sebagai Redaksi di Majalah Aula – Aula Media Group (AMG).
Sekretaris APEI Jatim Sri Isnawati melanjutkan pelatihan ecoprint kali ini hanya bersifat dasar. Peserta dikenalkan teknis mendasar dalam proses pembuatan ecoprint, sekaligus belajar karakter daun. Dalam hal pewarnaan, setiap daun punya hasil warna yang berbeda-beda. Seperti warna kuning, itu bisa didapat dari daun Afrika, sedangkan hijau dari daun kenikir dan jarak. Warna oranye bisa dari bunga kenikir dan sebagainya.