Momentum Bersejarah
Menurut Riadi Ngasiran, yang juga Tim Kerja Prasasti Monumen Resolusi Jihad NU di Surabaya, peringatan Hari Santri Nasional sebagai bagian penting menanamkan nilai-nilai sejarah bagi masyarakat, terutama generasi muda.
“Dengan penanaman nilai-nilai sejarah itu, kelak masyarakat dan generasi muda paham akan eksistensi dan hati dirinya sebagai bangsa yang merdeka,” tutur Tim Kerja Museum Nahdlatul Ulama ini.
Dijelaskan dalam buku “Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama dan Perang Sabil di Surabaya Tahun 1945”, tentang rentetan Resolusi Jihad NU hingga terjadinya Pertempuran 10 November 1945 yang menghebohkan dunia.
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, tak lepas dari peran serta pelbagai elemen masyarakat secara luas, termasuk di antaranya kaum santri, kiai dan orang-orang pesantren. Mereka secara organik tergabung dalam Laskar Hizbullah (beranggotakan santri), Laskar Sabilillah (beranggotakan kiai-kiai), yang terpanggil atas adanya Fatwa Jihad dari Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) dan menjadi pijakan keputusan PBNU ketika mengeluarkan Resolusi Jihad NU pada tanggal 22 Oktober 1945.
Laskar Hizbullah merupakan laskar beranggotakan santri, yang ketika zaman pendudukan Jepang (1944) telah dilatih dan digembleng di Cibarusah, dekat Bogor, seiring dengan terbentuknya tentara Pembela Tanah Air (PETA). Sehingga, ketika Bumi Pertiwi Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 mengalami ancaman dari Sekutu yang diboncengi tentara NICA (Belanda) maka darah para santri pun mendidih bersama Arek-Arek Surabaya.
Keterikatan spiritual antara Fatwa Jihad Kiai Hasyim Asy’ari (Bapak Umat Islam Indonesia) dan Resolusi Jihad NU — sebagai panggilan berjihad dan Perang Sabil bagi para santri dan kiai pesantren– terbukti ketika Bung Tomo dalam setiap pidato radio yang meledak-ledak untuk mengobarkan semangat juang Arek-Arek Surabaya, selalu diawali dengan Basmalah (Bismillahirrahmanirrahiim) dan Takbir (Allahu akbar) tiga kali.