Digitalisasi Turots Pesantren Adalah Sebuah Keharusan

Aulanews.id. SURABAYA – Tak dapat dipungkiri bahwa pesantren kaya dengan kajian kitab klasik. Yang lebih membanggakan lagi, kemampuan membaca dan menganalisa wacana di kitab kuning itulah yang menjadi keunggulan kalangan pesantren. Namun, kini pegiat turots (buku-buku warisan atau peninggalan ulama klasik atau terdahulu)  dihadapkan kondisi era digital dimana mereka tetap harus bertahan.

Sebagai strategi untuk tetap survive di era serba digital mau tidak mau, suka tak suka kalangan pesantren harus beradaptasi. KH Mujab Masyhudi, Dosen Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menyatakan santri-santri dalam Nahdlatul Ulama (NU) harus memiliki kesadaran untuk bagaimana agar kitab-kitab tradisi ulama salaf ini bisa dilestarikan keberadannya. “Caranya dengan pengunaan digital dalam konteks untuk bisa disebarluaskan secara masif dari pada jangkauan-jangakauan yang tidak biasa,” kata Mujab saat Workshop Literasi Digital: Strategi Turots Pesantren Beradaptasi dengan Ekosistem Digital di Aula KH Hasyim Asy’ari PWNU Jawa Timur, Selasa (26/07/2022).

Mujab menambahkan, pelestarian turots merupakan tanggung jawab bersama. Sebab turots merupakan identitas Indonesia yang tidak boleh dilupakan. “Turots yang ada di Indonesia itu adalah jati diri bangsa Indonesia, maka hati-hati jika turots itu nantinya tidak dirawat dan dipelihara sebaik mungkin, maka bangsa ini akan kehilangan jati dirinya,” terangnya.

Menurutnya, upaya digitalisasi turots pesantren merupakan sebuah tangga untuk masuk dunia global. Baginya, melalui hal itu maka kitab-kitab yang diwariskan oleh para ulama tidak hanya terdapat di tangan pewarisnya, tetapi juga bisa dinikmati secara luas. Seperti kitab-kitab yang hanya berada di satu pesantren, jika didigitalisasi maka akan bisa dibaca oleh banyak orang.

 

Dua Tugas Penting Pesantren di Era Digital

Sementara itu KH Imam Ghozali Said, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur Surabaya menyatakan setidaknya ada dua tugas penting untuk pesantren Indonesia menghadapi era digital. Yaitu meneliti dan membandingkan naskah yang tercetak dengan manuskrip.

“Jadi untuk Indonesia dan pesantren, pertama adalah meneliti yang sudah tercetak, kemudian membandingkan yang tercetak dengan yang masih manuskrip dan itu adalah karya takhqiq,” kata Imam Ghozali Said.

Imam menjelaskan terkait pencarian naskah klasik yang disebut studi takhqiq. “Studi takhqiq adalah mencari naskah. Kalau ada satu, satu itu cukup, terus ditulis ulang dan dicetak,” jelasnya.

Siaran Langsung

Kiai Bertutur

Sosial

Add New Playlist