Aulanews.id, Amerika Serikat – Danau Titicaca, Amerika Serikat yang merupakan danau tertinggi di dunia tengah mengalami kekeringan akibat gelombang panas.
Sebagian daerah danau itu bahkan terlihat seperti gurun lantaran kehilangan 120 juta metrik ton per tahun sejak 1992 hingga 2020.
Danau seluas 8300 meter persegi itu menjadi sumber penghidupan bagi warga sekitarnya untuk mencari nafkah. Danau yang biasa digunakan untuk aktivitas pariwisata, agrikultur, dan mencari ikan menurun drastis fungsinya.
Salah satu warga sekitar Danau Titicaca mengungkapkan keluhan dan keputusasaannya terkait kondisi danau ke depannya.
“Kami tidak tahu apa yang akan kami lakukan mulai sekarang hingga Desember karena air akan semakin surut,” kata Nazario Charca, 63 tahun, seorang warga sekitar danau yang bekerja sebagai pemandu tur danau, dikutip dari CNN.
Danau Titicaca dikenal sebagai “laut pedalaman’ yang menjadi tempat bagi masyarakat adat Aymara, Quechua dan Uros. Airnya yang berwarna biru jernih mempesona para wisatawan untuk datang.
Danau ini terletak di ketinggian 3.800 meter atau 12.500 kaki di pegunungan Andes tengah. Ketinggian ini membuat Danau Titicaca dikategorikan sebagai danau tertinggi di dunia.
Sisi buruk dari tinggi Danau Titicaca adalah air di dalamnya mudah menguap karena lebih dekat dengan matahari. Oleh karena itu, gelombang panas ekstrem menjadi mimpi buruk bagi masyarakat di sekitarnya.
Direktur layanan meteorologi dan hidrologi Peru di Puno, Sixto Flores, mengungkapkan bahwa curah hujan 49 persen lebih rendah dibandingkan periode Agustus 2022 sampai Maret 2023.
Kekeringan ini diperkirakan akan memperburuk perekonomian masyarakat Puno yang beberapa saat ini terpuruk akibat pandemi Covid-19 dan kerusuhan. Puno pernah jadi pusat protes atas kesenjangan, tuduhan korupsi, dan standar hidup masyarakat yang tidak meningkat sehingga Presiden Dina Boluarte mundur.
Aksi protes masyarakat Puno membuat wisatawan enggan berkunjung ke danau.
“Mereka agak takut untuk pergi,” kata Jullian Huattamarca, 36 Tahun, penjual tekstil lokal di Pulau Taquile.
Kemungkinan migrasi besar-besaran akan dilakukan oleh masyarakat seperti Tahun 1991 karena kekurangan sumber makanan. Masyarakat sepertinya tidak bisa berharap terjadi perubahan baik hingga tahun depan. Direktur deputi untuk klimatologi Senamhi, Grinia Avalos memprediksi peningkatan temperatur dari Badai El Nino akan terus berlangsung hingga Februari 2024.