Aulanews.id – Invasi besar-besaran yang dilakukan Rusia di bawah pimpinan Presiden Vladimir Putin terhadap Ukraina tak hanya memberikan dampak secara sosial, melainkan juga ekonomi. Sejumlah konsekuensi harus ditanggung Rusia setelah banyak negara di dunia menjatuhkan sanksi ke mereka.
Sanksi ekonomi diberlakukan sejumlah negara di dunia mulai dari Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Kanada, Australia, Jepang, hingga Uni Eropa. Negara Paman Sam akan memblokir aset bernilai miliaran dolar di dua bank Rusia. Tak hanya itu, aset pejabat elite negara komunis tersebut pun akan ditangguhkan.
Jerman juga menghukum Rusia dengan menghentikan sertifikasi pipa Nord Stream, jalur pipa gas alam yang menghubungkan Lubmin di Jerman menuju St. Petersburg di Rusia. Inggris turut akan membekukan aset 5 bank besar dan 3 konglomerat Rusia yakni Gennady Timchenko, Boris Rotenberg dan Igor Rotenberg.
Tak ketinggalan, Uni Eropa akan melemahkan ekonomi Rusia dengan memblokir akses pasar keuangan dan teknologi yang ada di benua biru tersebut. Mereka juga akan membekukan akses perbankan Rusia di Eropa.
Akibat hal tersebut, Rusia harus melakukan sejumlah penyesuaian moneter guna mempertahankan ekonominya dari gempuran sanksi. Pasalnya, Rubel, mata uang Rusia, jatuh ke nilai terendahnya sepanjang sejarah.
Terhadap dolar AS saja misalnya, rubel turun 53,77 persen.
Untuk mengantisipasi dampak moneter yang semakin luas, bank sentral Rusia melakukan beberapa tindakan seperti melanjutkan pembelian emas di pasar domestik. Selain itu, bank sentral Rusia juga telah menaikkan suku bunga acuan hingga 20 persen.
Aksi korporasi juga mewarnai ekonomi Rusia. BP, perusahaan minyak asal Inggris, dikabarkan melepas 20 persen saham di Rosneft. Chairman BP Helge Lund menegaskan agresi militer Rusia ke Ukraina merupakan perubahan mendasar yang membuat dewan BP mengambil keputusan.
Lund menyebut bahwa strategi bisnis BP dinilai tidak lagi sejalan dengan Rosneft. BP juga mendapat tekanan dari Pemerintah Inggris atas hubungannya dengan Rusia.
sumber: CNN Indonesia