Sebagaimana kita ketahui bahwa pemikiran Gus Dur yang penuh dengan kontroversial. Dalam ilmu ekonomi, pola pikir Gus Dur senada dengan teori pemasaran, jika suatu bisnis sudah berjalan dengan lancar, maka untuk memperluas pangsa pasar dilakukan dengan cara menambah produk serta layanan baru. Sepertinya teori ini sudah dipahami oleh Gus Dur.
Selain itu, dalam pendirian lembaga umum tebuireng, Gus Dur beralasan karena banyak anak muslim yang masuk ke Sekolah Wijana, sekolah Kristen Katolik di Jombang. Sekolah Wijana menjadi alternatif karena biaya terjangkau bagi ukuran keluarga kelas menengah ke bawah, dan Sekolah Wijana sangat dikenal sangat baik, sehingga banyak warga Jombang yang tertarik.
Pemikiran-pemikiran “beyond the time” Gus Dur yang berpendapat bertentangan dari sebagian pihak di tebuireng membuat Gus Dur seperti ikan yang berenang tidak pada habitatnya. Gus Dur terlalu besar untuk dipahami di tebuireng.
Hingga ada tanggapan bahwa terlalu kecil untuk Gus Dur. Sehingga Gus Dur sudah mulai merasa sempit dengan pemikiran yang terbatas, dan tak semua pemikiran Gus Dur terekspresikan.
Tahun 1977 pun Gus Dur membuka peluang untuk mencari tempat lain yang dapat menerima pikiran-pikirannya. Ibu kota Jakarta dianggap Gus Dur sebagai habitat yang sempurna baginya untuk menuangkan pikiran-pikiran majunya. Dan orang ibu kota tentu akan lebih terbuka dan dapat menerima pikiran dan gagasan Gus Dur. Hingga selang setahun kemudian, tahun 1978 Gus Dur benar-benar pindah ke Jakarta. “Muhsin, Kamu tetap di Tebuireng saja ya, saya mau pindah ke Jakarta”.. ucap Gus Dur, “Loh, ada apa Gus?”, “Tebuireng terlalu kecil, saya ingin mencari tempat yang lebih luas untuk mengembangkan perjuangan,” jawabnya. “Oh, nggeh Gus, ndereaken….”.