Kemudian, melalui serangkaian modifikasi, kue ini diubah dengan penambahan bahan pengembang seperti nira atau tuak enau, sehingga menciptakan tekstur berongga yang membedakannya dari bika asli.
Menurut penjelasan Omtatok, nama “Ambon” mungkin berasal dari tempat pertama kali kue ini dijual dan populer, yaitu di simpang Jl. Ambon-Sei Kera Medan.
Ada versi lain yang mengaitkan kata “Ambon” dengan akronim dari “Amplas Kebon,” sebuah dialek Medan yang sering digunakan dalam penyebutan kata.
Menurut cerita ini, pada era kolonial Belanda, para imigran yang tinggal di Daerah Amplas di sisi timur sungai menciptakan kue bikang, yang kemudian dijual di Kota Medan.
Kue ini mendapatkan popularitas karena diminati oleh warga Belanda dan Tionghoa pada saat itu.
Pada versi ketiga, Versi ini menceritakan bahwa dalam sejarahnya, seseorang dari Ambon membawa kue bingka ke Malaysia, dan kemudian kue tersebut dikenal dengan sebutan “Ambon.”
Namun versi ketiga ini menurut beberapa pihak kurang diyakini kebenarannya.
Versi terakhir mengatakan bahwa Tanggal 26 Agustus 1933, koran Belanda “De locomotief” memuat iklan tentang “bikang ambon” di Kota Semarang.
Kue ini juga sudah dicatat dalam edisi koran yang sama pada tahun 1896 di Kwitang, Batavia (sekarang Jakarta).
Meskipun terdapat beberapa versi yang mencoba menjelaskan asal usul Bika Ambon, hingga saat ini belum ada konsensus yang jelas.
Kue ini tetap menjadi ikon kuliner yang lezat dan terus dinikmati oleh masyarakat Indonesia dan bahkan wisatawan dari seluruh dunia.
Sebagai bagian dari warisan budaya, Bika Ambon tetap menjadi makanan yang menggugah selera dan mengundang minat untuk menelusuri akar sejarahnya yang menarik. (Mg 05)