“Ini berarti ada pengetatan 20.000 kali lebih rendah, toleransi asupannya jadi lebih ketat. Ini juga salah satu alasan BPOM mengkaji kembali regulasi yang ada terkait BPA,” katanya.
Menurut Aisyah, rencana pelabelan risiko BPA juga berlatar hasil pengawasan yang menunjukkan migrasi BPA pada galon bermerek yang beredar di sejumlah kota. “Datanya memang cenderung mengkhawatirkan, migrasi BPA ada di kisaran 0,06 ppm sampai 0,6 ppm dan bahkan ada yang di atas 0,6 ppm,” katanya.
Ahli polimer dari Universitas Indonesia, Muhammad Chalid, yang ikut berbicara dalam forum yang sama mengamini penjelasan itu. Menurutnya, memang ada risiko pelepasan BPA yang besar pada kemasan galon bermerek utamanya bila produk tersebut masih didistribusikan dengan serampangan, termasuk dibiarkan terpapar sinar matahari langsung dalam waktu yang cukup lama.
Selain paparan suhu yang relatif tinggi, Chalid mengatakan bahwa pelepasan BPA pada galon bermerek juga rawan karena proses pencucian galon di pabrik umumnya menggunakan sejenis deterjen yang bisa memicu peningkatan keasaman dan berimbas pada pelepasan BPA.
Kini, BPOM telah berdiskusi dengan semua pihak selama proses penyusunan regulasi pelabelan risiko BPA. Dia menyebut diskusi intens melibatkan pelaku usaha air kemasan, baik yang skala mikro, kecil dan menengah, market leader serta asosiasi terkait.
“Di level kementerian, kami sudah menyepakati urgensi pelabelan ini sebagai bentuk tanggung jawab negara sekaligus untuk melindungi pelaku usaha, termasuk pemerintah, dari kemungkinan tuntutan hukum di masa datang,” katanya mengisyaratkan kemungkinan munculnya gugatan publik bila risiko BPA tersebut tak disampaikan ke publik secara terbuka.
Aisyah berharap rancangan regulasi ini memicu inovasi di kalangan produsen galon bermerek dalam menghadirkan kemasan galon yang lebih menjamin kualitas dan keamanan air minum. (Mg06)