Di antara korban tersebut adalah 17 tokoh yang terdiri dari Kolonel Inf Marhadi, Letkol Wiyono, Insp Pol Suparbak, May Istiklah, R.M. Sardjono (Patih Madiun), Kiai Husen (Anggota DPRD Kabupaten Madiun), Mohamad (Pegawai Dinas Kesehatan), Abdul Rohman (Assisten Wedono Jiwan), Sosro Diprodjo (Staf PG Rejo Agung), Suharto (Guru Sekolah Pertama Madiun), Sapirin (Guru Sekolah Budi Utomo), Supardi (Wartawan freelance Madiun), Sukadi (Tokoh masyarakat), KH Sidiq, R. Charis Bagio (Wedono Kanigoro), KH Barokah Fachrudin (Ulama), dan Maidi Marto Disomo (Agen Polisi).
Uraian di atas menggambarkan, suasana perjuangan dan politik Indonesia yang menjadi latar belakang adanya Halal Bihalal Presiden Soekarno. Meski tujuannya gagal merekonsiliasi kekuatan politik yang ada. Kelompok kiri Indonesia memilih politik harakiri dengan memberontak pemerintah Soekarno dan mendirikan Negara Republik Indonesia Soviet.
Halal Bihalal Presiden Jokowi sepertinya mengulangi kegagalan Presiden Soekarno. Semangat ingin menyatukan kekuatan politik berbenturan dengan keinginan para elite yang tak ingin Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon.
Keinginan Presiden Jokowi untuk menyatukan Ganjar Pranowo-Prabowo Subianto dari koalisi partai pemerintah, terkendala oleh simulasi demi simulasi koalisi dan Capres-Cawapres untuk meraih kemenangan.
Presiden Jokowi gagal menyatukan kekuatan politik partai koalisi pemerintah dalam satu poros melawan poros penentang pemerintah. Di internal Istana, ada tiga kekuatan capres. Masing-masing, Ganjar, Probowo dan Airlangga Hartarto.
Ketiga poros tersebut terdiri dari koalisi PDIP, Gerindra dan Golkar, yang nampak tak mau mengalah untuk mengikhlaskan tiket capres pada yang lain. Mereka merasa punya kans yang sama untuk maju dan menang menjadi Presiden 2024-2029.
Sekarang, kritik mulai muncul dari berbagai penjuru. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden Jokowi sangat kentara sibuk menjadi tim sukses capres Ganjar. Keterlibatannya secara langsung dalam kandidasi presiden, dinilai tak etis. Apalagi, menggunakan istana sebagai “posko pemenangan” capres tertentu.
Menurut Sugeng Prawoto, tokoh sekaliber Surya Paloh dan Luhut Binsar Pandjaitan, risih melihat Presiden Jokowi cawe-cawe dalam menyiapkan penggantinya. Ini membuktikan 10 tahun berkuasa belum merasa cukup sampai-sampai menggunakan pengaruh dan fasilitas kekuasaan untuk memenangkan capres tertentu.