Rekaman tsunami jauh lebih terbatas, karena pengamatannya bergantung pada waktu dan lokasi eksperimen DAS.
Terobosan Tonegawa dalam hal itu terjadi pada bulan Oktober tahun lalu ketika gelombang tsunami kecil terdeteksi di dekat pulau Torishima di gugusan Pulau Izu, Jepang. Data tersebut kemudian dicocokkan dengan data pengukur tekanan untuk mengonfirmasi temuan tersebut.
Namun kini tibalah tantangan berikutnya: Mengubah data ketegangan itu menjadi sesuatu yang kuantitatif yang dapat memproyeksikan tinggi dan kecepatan tsunami.
Kabar baiknya adalah bahwa kecepatan tsunami — atau dengan kata lain, berapa lama orang di daratan harus menyelamatkan diri — dapat ditentukan langsung dari data regangan mentah, kata Tonegawa. Kesulitannya terletak pada proyeksi ketinggian tsunami, karena para ilmuwan perlu memperhitungkan deformasi dasar laut dan fluktuasi tekanan air.
“Regangan sedikit rumit, dan kini kami para peneliti di seluruh dunia tengah mencoba mengonversi data regangan menjadi data fisik yang lebih akurat,” kata Tonegawa.
Aoki, yang tidak terlibat dalam penelitian JAMSTEC menggunakan DAS, melihat banyak harapan dalam eksperimen lembaga tersebut dengan teknologi tersebut, dan meyakini teknologi tersebut dapat “merevolusi” pemantauan seismik dasar laut karena banyaknya data yang dapat dikumpulkan dan betapa mudahnya teknologi tersebut dapat digunakan secara luas.
“Biasanya kami memasang seismometer dasar laut dan pengukur tekanan dasar laut setiap 100 km, tetapi kini sistem DAS memungkinkan kami memasangnya setiap 5 meter atau lebih,” katanya.
Sementara itu, menentukan waktu kedatangan tsunami di pantai masih dapat terbukti menjadi bagian penting dari sistem peringatan tsunami, mengingat kepadatan jaringan kabel di Samudra Pasifik.