Oleh: Ely Rosyidah,S.Ag.M.Pd (PP Fatayat NU, Penyuluh Agama Islam Kemenag Kota Surabaya)
Aulanews.id – Sebagai agama yang lahir di timur tengah, agama-agama samawi atau ‘agama langit’ hadir dan berinteraksi satu sama lain, baik antara ‘para senior dan yuniornya’. Taruhlah Agama Yahudi yang telah muncul terlebih dahulu, Agama Kristen yang lahir berikutnya, maupun Agama Islam yang lahir paling belakang. Terlepas ada konflik disebagian umat atau para pengikutnya, para pemimpin (agama) nya tentu berusaha mencari harmoni agar tidak ada problem sosiologis diantara pengikut tersebut.
Demikian juga kalau kita bergeser di kawasan Asia, termasuk di Indonesia. Sebagaimana fakta yang diketahui, banyak ‘agama bumi’ atau ada yang menyebut agama ardli, alias ajaran yang di fatwakan oleh manusia atau tokoh yang kemudian dipercaya dan dipegangi sebagai jalan hidup luhur, baik dalam hal tatacara peribadatan hingga mengatur hubungan sosial selama didunia.
Kita tahu bahwa Hinduism atau Budism telah hadir lebih dulu dengan pengikut yang sangat dominan di kawasan Asia. Atau ajaran Zooroaster di Persia, ajaran Shinto di Jepang, atau agama-agama lokal yang hadir di sejumlah negara atau regional tertentu. Semu aitu tujuannya tidak lebih ingin mencipkatan masyarakat yang memiliki Tuhan, menyembah Tuhan, mengatur ritual peribadatan serta membina hubungan baik antar mahluk Tuhan.
Namun demikian, ada sejumlah pemikiran yang boleh dibilang ‘anti agama’. Misalnya ajaran Marxis-Leninis yang memandang agama sesuatu yang tidak produkstif. Sesuatu yang tidak rasional, dan mengganggu produktivitas manusia. Agama dianggab sebagai “opium rakyat,” yang artinya agama menawarkan penghiburan sesaat dari penderitaan manusia. Menurut Marx, penghiburan ini bersifat ilusi karena agama tidak mengatasi akar penyebab penderitaan tersebut, yaitu ketidakadilan ekonomi dan eksploitasi dalam sistem yang kapitalis.
Kritik Marx tersebut dilakukan atas dominasi sistem kapitalisme yang dominan saat itu serta lemahnya kaum gereja untuk hadir memberi partisipasi untuk penegakan keadilan. Memang akibat era abad pertengahan, memang telah ada dualisme yaitu ajaran gereja hadir untuk penguatan iman. Sementara akal sehat mendirikan gedung yang berisi bangku dan meja untuk mengembangkan ilmu pengetahuan empiris yang rasional (sekulerisme).
Maka efek salah satu hadirnya ‘fenomena sekulerisasi’ tersebut berdampak pada sebagian kelompok yang mengarah pada ateisme. Apapun itu yang yakini oleh kelompok ini, bagi kelompok agamawan atau yang masih ada realitas absolut yaitu Tuhan, hal itu menurut kaum agamawan tidak dibenarkan. Bahwa realitas di dunia tidak hanya urusan yang bendawi atau rasional-empiris tetapi juga yang sifatnya metafisis. Kita perlu bertanya. Sebelum kehadiran kita atau kehadiran alam jagat raya ini, sebelumnya dari mana. Dengan demikian ada pertanyaan epistimologis yang harus dijawab: dari mana dan mau kemana. Fa Aina Tadhabun..? dalam bahasa al-Qur’an.