Refleksi Hukum 2024, LPBH NU: Jatim Darurat Judol/Pinjol, tapi Pencegahan Masih Sulit

Aulanews.id – Surabaya (24/12), Dalam Catatan Hukum Tahun 2024 sebagai Refleksi Akhir Tahun di Bidang Hukum, Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH NU) Jawa Timur yang bertugas melaksanakan pendampingan, penyuluhan, konsultasi, dan kajian kebijakan hokum menilai wilayah Jatim sepanjang tahun 2024 ini, terdapat banyak peristiwa hukum dengan dua kasus yang mengemuka, yakni Judi Online (Judol) dan Pinjaman Online (Pinjol).

 “Kami menyoroti dua isu yakni Judol dan Pinjol tanpa menganggap yang lain tidak penting, namun karena kedua kasus itulah yang paling mengemuka di Jatim. Catatan hukum ini untuk mewujudkan sikap PW LPBH NU Jatim dalam amar ma’ruf nah munkar sebagaimana diarahkan dalam Khittah NU,” kata Ketua PW LPBH NU Jatim H Sullamul Hadi, S.Ag., SH., MH dalam konperensi pers di Kantor PW LPBH NU Jatim di Surabaya, Selasa.

 Berdasarkan data Kemenkopolhukam bahwa di tahun 2024 terdapat 8,8 juta warga masyarakat Indonesia menjadi pelaku Judol dan sekitar 80 persen dari jumlah tersebut merupakan warga masyarakat bawah dan anak muda. 

 “Artinya, Judol senyatanya bukan merupakan suatu yang mahal karena dapat diakses dan dimainkan oleh masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah dengan nilai transaksi di bawah 100 ribu rupiah per hari. Kendati nilai transaksi Judol-nya kecil, tetapi jika dilakukan setiap hari oleh jutaan pelaku maka jumlahnya sangat besar,” katanya.

 Selain itu, PPATK merilis data spesifik tentang jumlah pelaku Judol terbanyak berdasarkan provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan di seluruh Indonesia, yang menempatkan Jawa Timur pada peringkat keempat tertinggi jumlah pelaku Judol dengan nilai transaksi Rp.1,051 triliyun. 

 “Nilai transaksi Judol sedemikian besar itu sesungguhnya dapat digunakan secara positif untuk pembangunan sekolah atau madrasah, pembangunan rumah sakit, maupun pemberian modal usaha untuk UMKM, namun sayang hanya “menguap” untuk permainan Judol yang sia-sia dan pelakunya tidak pernah menang,” katanya.

 Selain peringkat keempat dalam Judol, data yang dihimpun oleh Divisi Litbang PW LPBH NU Jatim mencatat Jatim menduduki peringkat pertama (tertinggi) sebagai propinsi terbanyak jumlah perkara perjudian (konvensional) yang diputus pengadilan. Dari 50 PN dengan jumlah perkara tertinggi yang terdata pada Direktori Putusan Mahkamah Agung dalam tahun 2011-2024, total perkara perjudian di Jatim berjumlah 12.277 perkara. Berikutnya, Sumut 8.204 perkara, Jateng 2.842 perkara, Jabar 1.321 perkara, Riau 1.301 perkara, Sumbar 604 perkara, Banten 502 perkara, Babel 484 perkara, Kalbar 465 perkara, Bali 420 perkara, dan Jakarta 402 perkara.

 “Besarnya jumlah perkara perjudian di wilayah Jatim tersebut menandakan bahwa Jatim sedang tidak baik-baik saja. Fakta itu membuat Jatim masuk dalam situasi “darurat perjudian”. Judol bukan hanya  sebagai masalah hukum semata, tetapi juga merupakan bagian dari masalah sosial, karena Judol dan perjudian yang masif di Jatim tersebut dapat mempengaruhi kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat, khususnya terkait keharmonisan keluarga yang terganggu hingga berujung pada perceraian dan keluarga berantakan (broken home),” katanya. 

 Selain sebagai penyebab perceraian, perjudian juga dapat menjadi sebab meningkatnya utang-piutang di masyarakat. Terlebih dengan adanya kemudahan mengajukan utang secara online yang dikenal dengan Pinjaman Online (Pinjol), maka animo warga masyarakat khususnya para pelaku perjudian berhutang untuk bermain Judol akan cukup tinggi. 

 PPATK mengemukakan hasil analisis terhadap rekening para pemain judi online diketahui bersumber dananya dari Pinjol. Fakta lain, OJK mengemukakan bahwa terdapat 5 (lima) propinsi dengan jumlah Pinjol tertinggi, yang menempatkan Jatim pada urutan nomor 3 dengan jumlah total pinjaman sekitar Rp7,8 triliyun. Selain besaran jumlah Pinjol yang cukup tinggi, pinjaman macet dari Pinjol untuk Jatim mencaoau Rp218 milyar. Pinjaman yang macet itu berpotensi memicu terjadinya perbuatan kriminal, seperti penggelapan, pencurian, pembunuhan, bunuh diri, dan lain-lain.

 “Jadi, judi online merupakan penyakit sosial yang memiliki dampak kerusakan yang sangat besar dan multiplier effect yang berdasarkan data yang dihimpun LPBH NU meliputi meningginya angka perceraan dan masifnya pinjol yang tak terbayar. Pada satu sisi dengan banyaknya perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri di wilayah Jatim menunjukkan “kesuksesan” dalam penegakan hukum, namun terdapat kegagalan dalam pencegahan perjudian di wilayah hukum Jatim,” katanya. 

 Oleh karena itu PW LPBH NU Jatim merekomendasikan upaya pencegahan yakni optimalisasi kewenangan pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah Cq. Kementerian KOMDIGI untuk penutupan akses segala transaksi elektronik yang memiliki unsur pelanggaran dan pemberian sanksi pidana terhadap segala transaksi elektronik yang terdapat unsur pelanggaran hukum oleh penegak hukum Pidana.  Selain itu, perlu pelibatan lembaga-lembaga keagamaan dalam pencegahan terjadinya judol dan pinjol yang membawa kemudhorotan, seperti pondok pesantren, tokoh-tokoh agama, dan para ulama, untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, terutama literasu tentang bahaya judol dan pinjol kepada anak-anak remaja dan pemuda. (*/lpbhnu)

Siaran Langsung

Kiai Bertutur

Sosial

Add New Playlist