Relasi Agama Dan Politik Negara Dalam Pandangan Tafsir Alquran

Aulanews.id – Diskusi mengenai relasi antara agama dan politik dalam Islam terus menarik perhatian, terutama menjelang pemilihan presiden 2024. Partisipasi tokoh agama, seperti kiai dan habib, dalam ranah politik sering memicu pro dan kontra. Sebagian pihak menganggap politik sebagai area “kotor” yang berisiko menodai kesucian agama, sehingga tokoh agama dirasa tidak pantas terlibat di dalamnya. Pemisahan ini seolah-olah menunjukkan bahwa agama dan politik tidak boleh bercampur. Padahal, sejarah dan kajian para ulama membuktikan bahwa keduanya berhubungan erat dalam mengatur kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Tulisan ini mencoba mengurai pandangan Islam mengenai hubungan antara agama dan negara, dengan fokus pada tafsir Al-Quran, terutama ayat 30 dalam surat Al-Baqarah. Ayat ini mengangkat konsep “khalifah” (wakil Allah di bumi), yang mengisyaratkan peran manusia dalam menjaga dan mengatur bumi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sumber dari tafsir klasik dan kontemporer. Melalui kajian ini, diharapkan terbangun pemahaman yang lebih mendalam tentang posisi agama dalam urusan kenegaraan dan bagaimana tokoh agama bisa memainkan peran positif di dalamnya.
Negara dalam Konsep Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), negara diartikan sebagai organisasi dengan kekuasaan tertinggi di wilayah tertentu. Islam menyebut konsep negara sebagai “Ad-Daulah.” Menurut Prof. Wahid Rif’at, negara adalah kelompok besar yang diatur demi kemaslahatan umum. Sementara Prof. Abdul Hamid Mutawalli memandang negara sebagai badan hukum yang mengemban undang-undang untuk menjaga keteraturan. Ulama seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Dr. Wahbah al-Zuhaili, dan Imam Nawawi al-Bantani sepakat bahwa Islam tidak menentukan bentuk negara tertentu, tetapi menekankan bahwa negara harus mewujudkan kemaslahatan (kebaikan bersama) dan mencegah kemudaratan (kerusakan).
Pandangan Ulama tentang Relasi Agama dan Negara
Beberapa ulama besar memiliki pandangan yang mendalam mengenai hubungan antara agama dan politik. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa agama dan negara adalah dua komponen yang saling mendukung. Negara menjaga ketertiban, sedangkan agama memberikan arah spiritual. Al-Ghazali membagi kepemimpinan menjadi empat tingkatan: Nabi, yang memimpin aspek lahiriah dan batiniah; raja atau khalifah, yang fokus pada aspek lahiriah; ulama, yang mendampingi dalam ranah spiritual; dan penasihat, yang menjaga moralitas umum. Menurut Al-Ghazali, seorang pemimpin yang bukan ahli fikih (ilmu hukum Islam) sebaiknya dibimbing oleh ulama agar hukum Islam bisa diterapkan dengan baik.
Imam Al-Afyuni menambahkan bahwa meskipun tidak ada dalil khusus yang mengharuskan terbentuknya negara, syariat Islam mengisyaratkan pentingnya keberadaan pemimpin yang dapat menyatukan masyarakat. Bagi Al-Afyuni, negara dan agama ibarat saudara yang saling melengkapi untuk menjaga keteraturan sosial.
Sementara itu, Syaikh Ali Abdul Raziq berpendapat bahwa agama dan negara sebaiknya dipisahkan. Menurutnya, Islam adalah ajaran spiritual yang berfokus pada hubungan manusia dengan Tuhan dan tidak perlu masuk dalam ranah pemerintahan. Ia menegaskan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai pembawa risalah agama, bukan pendiri negara. Pendekatan ini menekankan bahwa syariat Islam dapat dijalankan tanpa memerlukan struktur negara tertentu.
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 30 tentang Khalifah di Bumi
Surat Al-Baqarah ayat 30 memuat prinsip penting tentang tugas manusia sebagai “khalifah” atau wakil Allah di bumi. Ayat ini kerap menjadi dasar diskusi mengenai peran manusia dalam mengelola bumi. Imam Ibnu Hatim menafsirkan ayat ini sebagai perintah kepada manusia untuk menjaga dan mengatur bumi dengan bijak demi kesejahteraan semua makhluk. Makna “khalifah” meliputi tanggung jawab besar untuk memastikan bumi tetap menjadi tempat yang aman.
Imam Ath-Thabari memandang penunjukan manusia sebagai khalifah sebagai mandat untuk menjaga bumi dan menegakkan keadilan. Amanat ini, menurut Ath-Thabari, tidak hanya berlaku pada Nabi Adam tetapi juga diwariskan kepada generasi manusia berikutnya. Memelihara bumi dengan keadilan dan kemaslahatan adalah wujud ketaatan manusia kepada Allah.
Sementara itu, Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa manusia sebagai khalifah bertugas mengelola bumi dengan menghindari kezhaliman dan perselisihan. Menurutnya, peran manusia dalam menjaga bumi merupakan salah satu bentuk ibadah yang mengungkapkan rasa syukur dan ketaatan kepada Allah.
Kesimpulan
Pandangan mayoritas ulama menunjukkan bahwa agama dan negara saling membutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan harmonis. Meski terdapat perbedaan pandangan mengenai bentuk dan penerapannya, mayoritas ulama mendukung gagasan bahwa agama berperan penting dalam kehidupan bernegara. Dalam konteks ini, keterlibatan tokoh agama dalam politik tidak hanya sah tetapi juga diperlukan, mengingat peran mereka dalam menegakkan kemaslahatan, keadilan, dan menjaga bumi dari kerusakan.
Dengan memahami pandangan ulama ini, diharapkan keterlibatan tokoh agama dalam politik dapat dilihat sebagai upaya positif untuk menyejahterakan masyarakat, bukan sekadar ambisi pribadi. Partisipasi mereka, jika dilakukan dengan niat yang benar, merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dalam mewujudkan kemaslahatan, keadilan, dan kedamaian di tengah kehidupan umat manusia.
Fian Abrori, Alumnus STIS dan Ma’had Aly Nurul Qarnain Jember

Siaran Langsung

Kiai Bertutur

Sosial

Add New Playlist