Aulanews Budaya Reuni Keluarga Jawa dan Upaya Menguak Keterkaitan Laskar Diponegoro

Reuni Keluarga Jawa dan Upaya Menguak Keterkaitan Laskar Diponegoro

Ilustrasi Foto: Ibu Ibu Muslimat NU Ranting memainkan Hadrah pada ivent Reuni Keluarga Jawa
Ilustrasi Foto: Ibu Ibu Muslimat NU Ranting memainkan Hadrah pada ivent Reuni Keluarga Jawa

Oleh Yusuf Amrozi

Aulanews.id Nglumpokne Balung Pisah….! Begitulah kira-kira tujuan dari suatu reuni. Sebuah kata yang menggambarkan ekspresi untuk menumpahkan rasa kangen karena lama ndak berjumpa.  Iya, reuni lazim digunakan untuk mempertemukan kembali anggota masa lampau pada kelompok keluarga, sekolah, pekerjaan, atau momen lain dimana kita pernah dipertemukan.

Advertisement

Ad

Advertisement

 Dengan demikian reuni keluarga termasuk yang paling sering diadakan oleh bani atau trah dari keturunan seseorang, yang kemudian telah beranak pinak hingga keturunan ke empat bahkan lebih. Bahkan ada sebagian anggapan, utamanya pada masyarakat Jawa bahwa jika mampu mengetahui silsilah hingga (naik) leluhur ke-7, maka yang bersangkutan diyakini memiliki “kelebihan” tertentu, apakah dia memiliki kemampuan mengobati, dan seterusnya. Yang jelas hal ini perlu pembuktian lebih lanjut di era masyarakat yang rasional saat ini.

Namun demikian semangat untuk mempertemukan sanak-saudara melalui reuni, termasuk mencoba menelusuri asal muasal para leluhurnya sudah lumrah dilakukan. Bahkan ada kepuasan, manakala dapat menyambungkan garis keturunan pada orang-orang penting atau orang suci terdahulu, baik itu tokoh/pemimpin agama atau kerajaan, bahkan hingga nyambung ke para nabi.

Hal Itu pulalah reuni keluarga Jawa yang dilakukan oleh generasi anak keturunan Eyang Joparto. Acara yang diselenggarakan di Desa Sumberasri Kec. Purwoharjo, Kab. Banyuwangi pada Ahad Kliwon, tanggal 15 September 2024 ini dalam rangka temu kangen mempertemukan keluarga dari trah Eyang Joparto dari berbagai daerah. Sebagai informasi, Eyang Joparto adalah sosok yang bermukim di Desa Binangun Kecamatan Binangun, Kab. Blitar, Jawa Timur.  

Sebagai kakek buyut dari Eyang Joparto ini, tentu kami mendapatkan cerita dari orang tua kami seputar beliau, yang sayangnya sangat terbatas. Konon Eyang Joparto memiliki nama lain yaitu Mad Yaqin. Tidak tau apakah Mad Yaqin tersebut kalau dipanjangkan Muhammad Yaqin, atau Ahmad Yaqin. Yang jelas lazim memang orang zaman dulu memberi nama dirinya dapat lebih dari satu. Eyang Joparto menikahi Nyai Riwuk dan dikaruniai 5 anak; 3 putra dan 2 putri, yaitu: Karso Ikromo, Wiryo Dikromo, Karyo Drono, Kaminah, dan Ginah.    

Kelak dikemudian hari putra-putri Eyang Joparto tersebut mengembara ke luar Blitar untuk menemukan daerah baru untuk bercocok tanam guna keberlangsungan hidup dan meneruskan keturunan. Hanya Mbah Karso Ikromo yang tinggal di Blitar. Sementara Mbah Wiryo Dikromo, Mbah Kaminah, dan Mbah Ginah ke Banyuwangi. Sedangkan Mbah Karyo Drono tinggal di Kediri. Karso Ikromo mempunyai 10 anak, Wiryo Dikromo mempunyai 7 anak, Karyo Drono mempunyai 6 anak, Kaminah mempunyai 6 anak, dan terakhir Ginah mempunyai 9 anak.

Baca Juga:  Demi Kesehatan Masyarakat, Pemerintah Larang Penjualan Rokok Batangan

Eyang Joparto dan kerabatnya memang berkultur Jawa (Jawa bagian selatan) yang memegang erat budayanya, yang juga hormat atau berkiblat pada pusat kerajaan di Jawa (Kasultanan Yogjakarta dan Kasunanan Surakarta). Dengan bercocok tanam atau rural agraris sebagai basis produksi ekonomi. Namun demikian seiring dengan berkembang zaman, keturunannya telah mengalami perkembangan dari segi pekerjaan. Sehingga boleh dibilang keturunan Eyang Joparto hari ini telah memiliki berbagai ragam profesi.

Dari keturunan Eyang Joparto tersebut sampai hari ini telah melahirkan pada generasi ke-4 bahkan ke-6. Sehingga reuni pada hari Minggu kemarin begitu meriah dengan menghadirkan lebih dari seratus orang keluarga besar Eyang Joparto tersebut. Dengan hiburan Hadrah dari ibu-ibu Muslimat NU desa setempat, serta sajian tarian gandrung khas Banyuwangi. Sejumlah anggota keluarga juga menyumbangkan lagu dengan diiringi musik yang telah dipersiapkan. Reuni tahun ini adalah reuni yang ke 5, yang rutin dilaksanakan antara 1 atau 2 tahun sekali, yang bergantian di berbagai tempat. Seiring dengan adanya teknologi informasi melalui smartphone, jejaring dan komunikasi sosial ini dapat menjangkau secara lebih massif, utamanya dengan adanya aplikasi whatsapp.

Lalu ada pertanyaan, kira-kira kapan persisnya Eyang Joparto tersebut hidup? Jika ditarik ke masa lampau  pada 4 generasi sebelum saya berarti Eyang Joparto lahir sekitar tahun 1860an. Kemudian diantara orang tua kami ada yang berkisah atau mencoba berspekulasi: adakah keterkaitan antara para leluhur kami tersebut dengan eksistensi Pangeran Diponegoro yang melakukan gerilnya terhadap kolonial? Memang saat artikel ini ditulis masih belum ditemukan jejak digital yang membuktikan bahwa Eyang Joparto adalah laskar atau pengikut Diponegoro yang lari ke Blitar. Karena sang Pangeran ini ditangkap oleh Belanda tahun 1830. Barangkali saja orang tua Eyang Joparto yang berpotensi terlibat berinteraksi dengan sang Pangeran atau laskarnya karena yang relativ sezaman. Oleh sebab itu kami sebagai bagian dari generasi Eyang Joparto masih punya “PR” untuk melakukan riset untuk menyibak tabir misteri sejarah tersebut. Termasuk menelusuri asal muasal Eyang Joparto dan orang tuanya berasal dari mana.    

Baca Juga:  Yudisium ke-108 Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya

Sementara argumen keterkaitan Eyang Joparto dengan sang Pangeran tersebut didasari oleh fakta akan “doktrin” atau arahan dari para orang tua atau simbah kami bahwa hendaknya menanam pohon Sawo Kecik di pekarangan rumah. Arahan tersebut memang ada dari berbagai literatur. Bahwa Intruksi dari sang Pangeran tersebut adalah kode bahwa yang bersangkutan adalah bagian dari pengikut atau anak turun laskar Diponegoro. Secara filologi (kebahasaan), konon Sawo Kecik itu juga bisa di maknai dengan ungkapan Sarwo Becik (artinya: Serba Baik). Hal ini juga seolah memberi pesan bahwa Pangeran Dipenegoro berharap anak turunnya atau para laskarnya hendaknya menebar kebaikan dalam hidupnya, serta meneruskan anjuran ini pada generasinya melalui simbol pohon Sawo kecik yang ditanam di pekarangan rumah itu.

Suatu hari saya bertemu dan berdiskusi dengan salah satu kolega yang bekerja sebagai Dosen Fakultas Adab dan Humaniora di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Beliau bernama Dr. KH. Kharisudin Aqib, MAg.  Saat saya menyinggung bahwa saya memiliki nasab dari Binangun Blitar, beliau langsung memeluk saya sambil berujar: “Berarti awake dewe isek sedulur…”. Sama seperti keyakinan sejumlah masyarakat yang lain, beliau menyakini bahwa mbah buyut nya yang berasal dari kawasan Blitar selatan ini masih memiliki trah atau garis keturunan dari sang pangeran, atau setidaknya dengan para pasukannya.  Maka setiap kali saya berpapasan dengan pengasuh PonpesTerpadu Daru Ulil Albab Kelutan Ngronggot Nganjuk yang juga mursyid thoriqot Qodiriyah wa Naqsyabandiyah ini langsung memeluk saya sambil berujar “Dulurku…..!”  

* Penulis adalah Staf Pengajar di UIN Sunan Ampel Surabaya dan salah satu keturunan mbah Mad Yaqin atau Eyang Joparto, Blitar.

Berita Terkait

GEBYAR LOMBA TK /RA MAARIF KOTA DALAM RANGKA ISRA’ MI’RAJ DAN HARLAH NU 102

Empat Ulama Mesir Hadiri Haul Ke-30 Pendiri YTPSNU Khadijah

Konten Promosi

Terkini

Siaran Langsung

Infografis

Sosial

Scroll to Top