Aulanews.id – Selama lebih dari satu abad, cerita rakyat Sarip Tambak Oso hidup di tengah masyarakat pesisir kota Surabaya dan Sidoarjo. Melalui medium yang beragam, refleksi kisah Sarip Tambak Oso terus muncul hingga saat ini mulai dari Ludruk, novel sastra, hingga animasi. Sayangnya, banyak media terbitan Belanda di tahun 1900-an menggambarkan Sarip sebagai sosok yang sadis nan bengis. Identitas penjahat yang dilekatkan ini menyebabkan nilai-nilai positif Sarip Tambak Oso terkikis.
Berbeda dari gambaran media pihak kolonialis, citra negatif Sarip tak muncul pada medium kesenian Ludruk, novel sastra, dan animasi. Mengawali observasi penelitian untuk disertasinya pada tahun 2021, Aryo Bayu Wibisono menemukan temuan menarik di masyarakat Tambak Oso. Nilai-nilai positif cerita Sarip justru hidup dalam diri masyarakat Tambak Oso dan masyarakat pesisir Sidoarjo. “Hal itu tercermin pada setiap aktivitas sehari-hari masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, petani tambak dan pedagang ikan,” ujarnya.
Observasi pada perjalanan penelitian menyimpulkan gambaran tiga konsep nilai positif dalam cerita Sarip, yakni “semangat, berbakti dan ikhlas”. Dekonstruksi cerita rakyat Sarip Tambak Oso melalui fotografi dan tipografi, adalah upaya untuk menata ulang nilai-nilai positif cerita rakyat Sarip melalui aktivitas masyarakat Tambak Oso. Cerita Sarip yang dianggap negatif oleh media-media Belanda, digambarkan kembali secara positif melalui karya perjumpaan fotografi dan tipografi. Perjumpaan bentuk seni fotografi dan tipografi dilandasi oleh temuan di lapangan, jika aktivitas-aktivitas masyarakat Tambak Oso membentuk dimensi tipografi sewaktu dalam pemotretan.