Aulanews.id – KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memiliki keteladanan dalam membina rumah tangganya. Sang istri, Nyai Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid menceritakan keteladanan Gus Dur dalam rumah tangga yang selalu menghargai istri dan putri-putrinya. Gus Dur juga selalu setuju dan mendukung apa pun yang dilakukan Nyai Sinta.
“Ya memang kami tidak punya anak laki-laki, tapi memang tidak ada perbedaan sama sekali di antara kami. Jadi tidak pernah membeda-bedakan apa pun itu. Kalau kepada saya, apa pun yang saya lakukan, Gus Dur menyetujui. Apa pun yang saya pakai, Gus Dur oke. Tidak pernah Gus Dur mengatakan, ‘oh kamu pakai baju itu nggak pantes atau kekecilan’, tidak,” ungkap Nyai Sinta.
Nyai Sinta mengatakan, penghormatan Gus Dur terhadap perempuan bermula sejak ditinggal wafat sang ayah, KH A Wahid Hasyim. Gus Dur menjadi yatim ketika usianya masih kecil. Saat Gus Dur baru lulus Sekolah Dasar (SD), Gus Dur dan lima saudara kandungnya yang lain dibesarkan oleh seorang ibu, Nyai Solichah.
“Melihat seperti itu (peran Nyai Solichah membesarkan anak-anaknya), Gus Dur merasa bahwa ibu itu harus dihormati dan dihargai,” ungkap salah seorang Mustasyar PBNU ini.
Sedangkan, Nyai Sinta belajar dari keluarga Gus Dur, bagaimana Gus Dur dibesarkan oleh seorang perempuan, sang ibu.
Pendiri Yayasan Puan Amal Hayati ini mengajak para tokoh agama dari kalangan laki-laki untuk terlibat dalam mengatasi kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang marak terjadi.
“Masalah (kekerasan terhadap perempuan) ini masalah kehidupan. Masalah kehidupan yang harus ditangani oleh laki-laki dan perempuan. Kalau sekarang perempuan diinjak-injak, tertindas, laki-laki juga harus bisa membantu,” tegasnya.
Ia berharap laki-laki atau para tokoh agama laki-laki harus mampu memahami tentang kekerasan terhadap perempuan beserta dampak lahir dan batin yang dimunculkan. Selain itu, para tokoh agama laki-laki juga bisa memberikan contoh atau nasihat kepada para pengikut atau jamaahnya untuk tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan. Sebab, dampak yang akan muncul dari kekerasan itu akan terasa pada keutuhan rumah tangga dan anak-anak.
“Jadi itulah alasannya mengapa kita mengajak laki-laki (dan tokoh agama laki-laki) terlibat dalam menangani kekerasan terhadap perempuan,” imbuhnya.
Selengkapnya baca di majalah Aula edisi Desember 2022.