Aulanews.id, JAKARTA – Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi mengingatkan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) Kemenag untuk tetap menjaga kerukunan menjelang tahun politik. Ia berpesan agar jangan sampai perbedaan pandangan dan pilihan politik, antarsaudara berakibat menjadi tidak rukun.
“Saya tegaskan, menjelang tahun politik, jangan sampai gara-gara berbeda pandangan, berbeda pilihan politik, suami-istri bertengkar, tetangga tidak berteguran, antarsaudara tidak rukun,” kata Zainut Tauhid. Apalagi ASN sebagai sebagai penghulu, penyuluh agama, guru, yang harus menjaga kerukunan dan perdamaian antarumat beragama, dan antarkelompok masyarakat.
Menurut Wamenag, kerukunan antarsaudara dan umat beragama penting untuk dikedepankan di tengah masyarakat yang majemuk. Apalagi Indonesia kaya akan adat istiadat, bahasa, suku, agama, pilihan politik. “Di dalam masyarakat yang majemuk ini kita harus memberikan pemahaman yang moderat, baik moderat dalam berpolitik maupun beragama,” ujarnya.
Kementerian Agama, lanjut Zainut, memiliki program prioritas, salah satunya moderasi beragama. Menurutnya, moderasi yang dimaksud bukan memoderatkan agama, karena agama sejatinya nilai-nilainya sudah moderat.
Namun, lanjutnya, yang perlu dimoderatkan adalah perilaku dan cara umat dalam menjalankan agamanya supaya tidak ekstrem, baik ekstrem kiri maupun kanan. Dalam kata lain agar beragama tidak radikal juga liberal.
Indonesia ini merupakan negara damai atau darussalam dan juga negara yang cinta damai. Meskipun kita berasal dari agama, golongan, atau kelompok yang berbeda, tetapi kehidupan masyarakat kita tetap harmonis, penuh toleransi dan saling menghormati,” kata Zainut.
Sikap toleransi itu harus terpelihara agar tidak mudah dipecah belah dan diadu domba. Hal ini penting ditekankan di saat menghadapi tahun politik yang penuh dinamika. “Kita tidak boleh menganggap hanya kelompok kitalah yang paling benar, sementara kelompok lain itu salah,” tegasnya.
Menurut Zainut, di dalam internal umat Islam saja punya banyak perbedaan. Baik perbedaan mazhab, organisasi, bahkan pilihan politiknya. Perbedaan-perbedaan itu diperbolehkan selama tidak menyinggung permasalahan pokok atau ushul agama. “Ada yang pakai qunut ada yang enggak, ada yang memelihara jenggot ada yang enggak, ada yang bercelana cingkrang ada yang enggak, perbedaan-perbedaan furuiyah itu diperbolehkan,” ujarnya.
Zainut mencontohkan, para ulama terdahulu seperti Imam Syafii pernah berbeda pandangan dalam banyak hal dengan gurunya, Imam Malik. Salah satunya, Imam Syafii mengajarkan qunut saat subuh, sementara Imam Malik tidak. Tetapi, ketika Imam Syafii datang ke kotanya Imam Malik, kata Zainut, beliau tidak pakai qunut karena beliau menghormati gurunya. “Kecuali jika sudah menyinggung permasalahan ushul, seperti ada nabi setelah Nabi Muhammad, baru kita persoalkan, karena itu bukan lagi perbedaan, melainkan penyimpangan,” katanya.(MG2/Vin)